Kondisi ini memperlihatkan sebuah fakta. Soal menangani bencana alam kita memang cukup berpengalaman dan eruji, tapi terkait bencana non alam dan pandemi kita masih buta.
Kesan buta pandemi tampak pada level penentu kebijakan sampai masyarakat. Pada level pemerintah pusat kita menyaksikan maju mundur langkah penanganan Covid-19, kebijakan yang saling kurang sinkron antar lembaga, hingga adu keinginan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sementara buta pandemi di level masyarakat dipengaruhi kesenjangan komunikasi dan pengetahuan. Bagi ahli kebencanaan, ahli kesehatan atau pakar epidemi, bencana Covid-19 dipahami dari sudut pandang ilmiah. Sementara bagi banyak masyarakat Indonesia bencana yang penyebabnya tidak kasar mata sering dipandang secara subyektif dengan pengaruh kebiasaan dan keyakinan seperti wabah adalah ujian, takdir, dan teguran Tuhan. Bebannya semakin bertambah manakala pemerintah terlalu kukuh memandangnya dari sudut pandang ekonomi.
Tingkatkan Kapasitas
Secanggih apapun teknologi, sebanyak apapun kamar rumah sakit yang disiapkan, dan seterampil apapun tenaga medis, tidak akan optimal jika kapasitas dan kesadaran masyarakat rendah.
Menarik jika menganalisis pendekatan awal yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong respon masyarakat terhadap pandemi Covid-19. Narasi-narasi Presiden Jokowi, Menteri Kesehatan, dan tim Gugus Tugas pada awal wabah menerpa Indonesia memperlihatkan upaya persuasi yang mengharapkan kesadaran individu dan komunitas. Ini terlihat sekali pada dua minggu pertama.
Upaya tersebut bisa dipahami karena pendekatan komunitas memberi peluang besar untuk melawan pandemi. Syaratnya masyarakat harus memiliki kapasitas yang baik untuk memahami, menanggapi, dan mencegah penyebaran Covid-19.
Oleh karena itu, sosialisasi gencar dilakukan oleh pemerintah dibantu banyak pihak melalui berbagai cara dan beragam media. Aparat di lapangan juga terus menerus berusaha menanamkan kesadaran pada masyarakat. Tujuannya ialah meningkatkan kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat agar mau bersama-sama menciptakan budaya keselamatan dan saling melindungi di tengah bahaya Covid-19.
Namun, pola pikir dan perilaku reaktif-kuratif masyarakat Indonesia membuat banyak orang cenderung baru akan sadar jika dirinya atau keluarganya sudah terserang. Oleh karena itu, pemerintah lalu mulai menempuh pendekatan lain yang lebih "menakutkan". Salah satunya dengan membuka data jumlah pasien dan ODP secara nasional. Harapannya masyarakat yang buta pandemi akan semakin sadar.
Sayangnya, pemerintah juga belum menampilkan kapasitas yang optimal. Mulai dari pengambilan keputusan hingga kerja sama antar kelembagaan terlihat adanya ketidakcukupan dalam mengelola pandemi. Beberapa arahan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi memang tegas. Namun, pada tingkat sistem dan kebijakan sering dengan mudah terlihat adanya ketidaksesuaian dengan tujuan yang ingin dicapai.
Informasi positif memang menjadi kabar baik. Akan tetapi informasi positif yang tidak terkendali bisa membentuk persepsi bahwa kondisi sudah aman. Ini bisa mempengaruhi masyarakat untuk keluar rumah tanpa bersikap waspada. Kondisi jalanan Yogyakarta yang mulai ramai lagi boleh jadi dipengaruhi oleh persepsi keliru semacam itu.