Manakala uang habis, saya kembali lagi ke ATM dengan langkah ringan dan lagi-lagi menarik dengan jumlah yang kecil. Begitu seterusnya dan berulang sehingga ATM Rp20.000 membuat saya terjebak dalam perasaan nyaman.
Akibatnya baru saya sadari kemudian bahwa ATM Rp20.000 justru memicu pemborosan. Secara nominal Rp20.000 memang tidak besar, tapi dengan demikian saya menjadi sangat sering bolak-balik ATM dan kehilangan kontrol dalam penggunaan kartu debit.Â
Parahnya, sepanjang itu pula saya masih menganggap saldo tabungan hanya berkurang sedikit tanpa memperhitungkan frekuensi penarikan dan begitu mudah saya menghabiskannya lagi.
Belajar dari kesalahan, saya lalu menjaga jarak dengan ATM Rp20.000. Perlahan kebiasaan menarik tunai dengan nominal kecil kelipatan Rp20.000 saya tinggalkan. Sebaliknya saya lebih memilih menarik tunai dalam jumlah yang lebih besar.
Ternyata itu lebih baik. Dengan memegang uang yang lebih besar, secara tidak langsung saya diarahkan untuk memikirkan alokasinya secara lebih rinci dan cermat. Saya jadi belajar membagi uang yang besar itu untuk setiap jenis kebutuhan.
Dengan menarik tunai lebih besar, frekuensi kunjungan saya ke ATM berkurang. Paling tidak godaan konsumtif bisa ditekan.Â
Setiap pengeluaran jadi lebih diperhitungkan agar jangan sampai lembaran-lembaran uang yang baru keluar dari ATM itu berpindah tangan begitu saja.
Saya bayangkan jika hari ini ATM-ATM masih didominasi pecahan Rp20.000, bisa jadi akan banyak orang, terutama mahasiswa yang kehilangan kewaspadaaan terhadap pengeluarannya.Â
Mereka akan terlalu mudah mereka bolak-balik ATM sambil berkata dalam hati, "nggak papa, cuma selembar untuk ngopi".Â
Jadi, berhati-hatilah dengan ATM Rp20.000.Â