Bagi mahasiswa atau yang pernah menjadi mahasiswa dengan keuangan bulanan yang dipasok oleh orang tua, ATM Rp20.000 punya jasa tersendiri.
ATM Rp20.000 dianggap pro mahasiswa. Saat "tanggal tua" atau ketika dompet kosong dan saldo tabungan menipis dengan nominal kurang dari Rp50.000, keberadaan ATM Rp20.000 laksana dewa penolong.Â
Banyak yang bisa didapat dengan selembar Rp20.000, terutama beberapa tahun silam, karena dengannya seseorang bisa makan, isi bensin, dan mengisi pulsa pulsa sekaligus.
Setelah masa kejayaannya berlalu, keberadaan ATM Rp20.000 pun serupa barang antik nan langka. Ambil contoh ATM Rp20.000 dari BNI di Yogyakarta yang sekarang hanya tersisa di dua tempat, yaitu Kantor Cabang UPN dan UGM.Â
Di galeri ATM BNI Kantor Cabang UGM, dari delapan bilik ATM, hanya satu mesin yang masih melayani penarikan pecahan Rp20.000. Sisanya melayani penarikan pecahan yang lebih besar.
Itu sebabnya banyak yang berharap agar bank-bank di Indonesia melahirkan lagi ATM Rp20.000.
Saya sendiri termasuk yang pernah memiliki "kedekatan" dengan ATM Rp20.000. Dulu sering saya berdiri mengantre di belakang bilik ATM pecahan kecil ini.Â
Setiap kali menarik tunai, jumlah yang biasa saya ambil antara Rp40.000-Rp80.000. Jarang saya mengambil hanya Rp20.000.
Saat itu saya beranggapan bahwa dengan menarik tunai nominal kecil, pengeluaran jadi lebih hemat. Saldo tabungan pun hanya berkurang sedikit sesuai jumlah penarikan yang tak sampai Rp100.000.
Namun, tanpa disadari kebiasaan menarik tunai Rp20.000 justru menjebak saya pada kesesatan seputar perencanaan dan pengelolaan keuangan. Karena menganggap Rp20.000 atau Rp40.000 adalah nominal yang kecil, saya cenderung menganggap remeh dan terlalu mudah menghabiskannya hanya dalam sekali pengeluaran.