Pemungutan suara telah usai. Bersatunya masyarakat yang terbelah menjadi prioritas. Sementara di tingkat elit rekonsiliasi seringkali hanya sebuah cara dan jalan untuk mencari "keselamatan" sendiri.
Hari-hari setelah pemungutan suara pemilu para politisi bangun pagi-pagi. Dimulai dengan meregangkan otot sebentar, dilanjutkan mandi air hangat, lalu menyeruput kopi sekali teguk. Sungguh nikmat hari mereka.
Koran pagi dibaca, tapi hanya sebentar. Ada yang lebih penting, yaitu memantau media sosial. Daftar trending topic diperiksa, kemudian disusurinya cuitan-cuitan dengan tanda pagar teratas.
Kini tubuh mereka segera berpindah. Muncul di layar TV-TV dan seperti biasanya mereka banyak bicara dengan sesekali sok berfilsafat. Di antara mereka ada yang bicara hanya untuk memperlihatkan betapa rendahnya kualitas lawakan mereka. Ada pula yang dari omongannya memperlihatkan bahwa akal sehat mereka mendesak untuk di-upgrade, itu pun kalau masih bisa diselamatkan.
Satu di antara beberapa hal yang mulai banyak dibicarakan setelah pemungutan suara usai adalah soal rekonsiliasi, rujuk nasional, atau apa pun namanya.Â
Menguatkan lagi kebersamaan sesama anak bangsa memang perlu disegerakan mengingat terlalu lama sudah masyarakat terpecah. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun masyarakat terbelah dan terkotak-kotak secara tajam.Â
Ketegangan politik yang berimbas sangat luas dan diwarnai saling hina tak terhindarkan seolah itulah satu-satunya yang bisa dikerjakan. Fitnah dan hoaks tak henti diproduksi untuk disebarkan secara masif seolah itu adalah cara yang halal. Selama itu awan kebencian menyelimuti kehidupan.Â
Terlalu besar yang telah dikorbankan. Maka upaya-upaya yang mengarah ke persatuan penting untuk dilakukan. Namun, tunggu dulu.
Kita tahu bahwa polarisasi dalam bentuk apa pun tidak terjadi begitu saja. Terpecahnya masyarakat dan rusaknya jalinan solidaritas yang dalam beberapa aspek mencederai nilai-nilai moral dan kemanusiaan muncul bukan tanpa faktor yang kuat. Ada otak, kaki, dan tangan di luar tubuh masyarakat yang terbelah yang bermain.
Politisi kita, tentu tidak semuanya, memainkan peran dalam menciptakan masyarakat yang terbelah selama ini. Tidak terlalu sulit untuk menandai hal itu. Perilaku saling hina dan fitnah yang menjangkiti masyarakat sepanjang berlangsungnya kontes politik, mulai dari pilkada hingga pilpres, jika ditelusuri niscaya akan tertangkap dengan jelas adanya "sumbangan" dari para politisi.