"Kang buyut tan kenging pisah, sinambi, winulang iki, langkungkerta Tegalrejo, mapan kabeh tiyang prapti, samya angungsi tedhi, ingkang santri ngungsi ngelmu, langkung rame ngibadah, punapadene wong tani, henengena kawarnaga ing Ngayogya".
Begitulah sepenggal kutipan dari pupuh ke-15 Babad Diponegoro, naskah kuno yang memuat kisah hidup Pangeran Diponegoro, sang panglima perang Jawa sekaligus pemimpin rakyat yang gigih berjuang melawan penindasan penjajah atas tanah leluhurnya.
Pupuh itu pula yang ditafsirkan secara visual dalam sebuah karya seni rupa berjudul "The Garden Of Earthly Prosperity in Ground Zero" karya Isur Suroso.Â
Lukisan itu terbagi dalam tiga panel kanvas dan memperlihatkan Pangeran Diponegoro kecil sedang belajar mengaji di bawah bimbingan nenek buyutnya. Tampak pula dua sosok (pria dan wanita) yang berpenampilan seperti prajurit atau penjaga dengan membawa senjata berupa keris dan senapan.
Lukisan berukuran 130x150 cm tersebut adalah satu dari 51 lukisan yang dapat disimak dalam Pameran Sastra Rupa bertajuk Gambar Babad Diponegoro.Â
Berlangsung dari 1-24 Februasi 2019 di Jogja Gallery, kawasan Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, pameran ini digagas oleh Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) dan Jogja Gallery.
Aktualisasi Warisan Ingatan Dunia
Babad Diponegoro merupakan autobiografi Pangeran Diponegoro yang ditulis sendiri olehnya saat diasingkan di Manado pada rentang waktu 1832-1833.Â
Pendapat lain menyebut Babad Diponegoro sudah mulai ditulis sejak 1831 dan penulisannya tidak dilakukan secara langsung oleh Pangeran Diponegoro.Â
Sang pangeran menyampaikannya secara lisan untuk selanjutnya kemudian ditulis oleh Tumenggung Dipowiyono yang ikut diasingkan bersama Pangeran Diponegoro ke Manado.
Selain memuat riwayat hidup sang pangeran, Babad Diponegoro juga menceritakan mengenai sejarah Jawa, kondisi Keraton Yogyakarta serta peristiwa-peristiwa penting lainnya.Â