Tetangga-tetangga nonmuslim itu memang tidak ikut melantunkan doa-doa secara Islam. Entah apakah mereka berdoa menurut kepercayaan sendiri dan seperti apa doa yang mereka panjatkan.
Tapi mereka tampak khusyuk dan berbaur dengan tetangga lainnya yang ikut mengaji di halaman samping luar rumah kakek. Tetangga-tetangga nonmuslim itu juga mengikuti pengajian hingga selesai.
Di Klaten, khususnya di Desa Tanjungan kampung halaman kakek ni memang bukan hal aneh menyaksikan warga berbaur mengikuti kegiatan sosial keagamaan secara bersama-sama.
Jika pada malam itu warga nonmuslim datang ke pengajian 40 hari meninggalnya kakek, sebelumnya saya juga pernah menyaksikan acara Sadranan atau doa bersama menjelang Ramadan yang diikuti oleh penduduk desa tanpa memandang perbedaan agama.
Warga muslim dan nonmuslim tampaknya menjadikan kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan sebagai wahana untuk merawat kerukunan dalam kehidupan mereka.
Perbedaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama di desa mereka tidak menjadikan warga hidup tersekat.
Warga memiliki kearifan yang membuat mereka mampu menjalankan amalan-amalan kehidupan dan toleransi tanpa diliputi kekhawatiran akan menganggu akidah masing-masing.
Kesadaran warga akan pentingnya kerukunan menuntun mereka bersikap luwes terhadap perbedaan.Â
Barangkali itulah mengapa warga nonmuslim bisa dan biasa menghadiri pengajian tetangganya yang beragama Islam. Hal lainnya adalah rumah kakek hanya berjarak 30 meter dari sebuah gereja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H