Sabtu pagi itu, sekitar pukul 04.00 kereta api Malioboro Ekspres yang saya tumpangi tiba di Stasiun Kota Baru, Malang, Jawa Timur. Hari masih gelap dan hawa dingin menyergap, saya memilih berdiam sesaat di dalam stasiun. Sebuah kios penjual makanan dan minuman di dekat ruang tunggu saya masuki untuk sekadar meminum segelas teh panas.
Mendekati pukul 05.30 saya memutuskan untuk meninggalkan stasiun dan mulai menapaki jalanan Malang yang agak basah karena semalam diguyur hujan ringan. Bepergian  pada bulan Desember memang harus siap dengan beberapa risiko. Selain kamar hotel dan tiket perjalanan yang sudah banyak dipesan, cuaca menjelang akhir tahun di Indonesia biasanya juga diwarnai hujan atau cuaca tidak menentu.
Setelah berjalan beberapa menit, saya pun tiba di Pasar Klojen yang tak terlalu jauh dari stasiun. Pasar adalah tempat yang selalu ingin saya kunjungi setiap bepergian ke manapun. Selain untuk menyaksikan atraksi-atraksi kehidupan di dalamnya, mengunjungi pasar juga menghadirkan kenangan masa lalu karena saat kecil saya sering diajak Ibu ke tempat ini.
Tapi secara khusus tujuan saya ke Pasar Klojen adalah untuk menyantap Pecel Bu Sri. Keinginan itu terwujud. Ketika saya datang Bu Sri masih sibuk menyiapkan bahan untuk menyajikan pecel. Dengan cekatan ia menata wadah-wadah di atas meja kayu. Wadah-wadah itu berisi antara lain sayuran, bumbu pecel, dan aneka lauk yang mengundang selera.
Tempat Bu Sri berjualan hanya berupa lapak sederhana di dekat pintu masuk pasar. Setiap pengunjung yang memasuki Pasar Klojen pasti dengan mudah menemukannya di dalam pasar.Â
Pecel Bu Sri istimewa karena disajikan dengan pincuk daun pisang. Isiannya terdiri dari nasi putih, daun singkong, daun pepaya, tauge, daun kemangi, mentimun, rempeyek, dan mendol, yaitu sejenis olahan kedelai mirip tempe. Semuanya lalu disiram dengan bumbu pecel yang gurih.Â
Bu Sri menyediakan tiga bumbu pecel yang berbeda untuk menyesuaikan selera pembeli. Ada bumbu pedas, sedang, dan tidak pedas. Semua bumbu itu dibuatnya sendiri. Ia juga menyediakan stock bumbu pecel yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh. Sementara sebagai teman menyantap pecel, tersedia lauk tempe goreng, bakwan jagung, sate daging, peyek ikan, peyek udang, gendar, kerupuk, dan lain sebagainya. Sebagai penyuka pecel saya lahap menyantap Pecel Bu Sri ini.
Ada hal menarik saat menikmati Pecel Bu Sri. Di antara sekian banyak lauk yang disediakan, Bu Sri tidak menyediakan telur. Padahal, umumnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta pecel disantap dengan tambahan telur ceplok atau telur dadar. Tentang hal ini Bu Sri punya alasan sendiri. Menurutnya selain pecel bukan makanan khas Malang, pembeli juga lebih suka menikmati pecel buatannya dengan lauk mendol dan bakwan jagung. "Orang juga takut kolesterol kalau makan telur terus", candanya.
Kesetiaan Bu Sri tidak hanya ditunjukkan dengan tetap menjajakan pecel warisan sang ibu tersebut. Ia juga tetap bertahan di Pasar Klojen meski pasar tersebut semakin sepi karena banyak penjual pindah ke pasar-pasar lain. Bu Sri pun menjadi salah satu penghuni terlama di Pasar Klojen. "Ibu saya dulu berjualan di pasar ini, jadi saya mengikuti", katanya.Â