Kemajuan sebuah kota bisa diukur dan dinilai dari sejumlah indikator atau paramater. Salah satunya, menurut saya adalah melalui performa kota dalam menyediakan ruang publik yang berkualitas yang bagi warganya maupun bagi masyarakat secara umum. Ruang publik tersebut bisa berupa taman kota, hutan kota, trotoar, jalur pejalan kaki (pedestrian) dan fasilitas-fasilitas lainnya yang dapat diakses dengan mudah, gratis, serta bisa menjadi ruang untuk menggelar aktivitas atau interaksi.
Dalam aspek ruang publik seperti taman, hutan, dan trotoar inilah Kota Yogyakarta dapat dianggap sebagai kota yang masih kesulitan dalam membangun kemajuan. Performa Yogyakarta dalam menghadirkan ruang publik berkualitas boleh dikatakan tertinggal. Boleh setuju atau tidak. Setidaknya saya membandingkannya dengan kota-kota besar lain yang beberapa kali saya kunjungi dalam satu hingga dua tahun terakhir, seperti Jakarta, Surabaya, dan Malang.
Alih-alih memperbanyak ruang publik berkualitas, dalam beberapa tahun terakhir Kota Yogyakarta justru seperti sedang meniru dosa kota-kota besar lainnya yang mendefinisikan kemajuan dengan mengganti rupa dan ruang kotanya dengan bangunan-bangunan tinggi serta ruang-ruang privat. Pada saat bersama kota ini sulit melepaskan diri dari jerat permasalahan seperti kemacetan dan perparkiran.
Kawasan Malioboro memang bukan sepenuhnya ruang publik. Tapi tempat tersebut memperlihatkan betapa sulitnya menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, pariwisata dengan ruang publik yang diharapkan bisa dipenuhi dari beberapa bagian Malioboro seperti trotoar dan area pejalan kaki.
Sekian lama trotoar di Malioboro kehilangan fungsi dasar dan utamanya. Trotoar di sana menjadi semacam ruang parkir bersama tempat ratusan sepeda motor dan mobil. Praktik perparkiran di Malioboro dan sekitarnya juga seringkali disertai pungutan liar karena tarif yang tidak sesuai ketentuan.
Oleh karena itu, revitalisasi kawasan Malioboro yang gencar dilakukan dalam dua hingga tiga tahun terakhir cukup memberi harapan. Melalui sejumlah pembenahan, penataan dan penertiban fungsi kawasan, sedikit demi sedikit rupa Malioboro mulai berubah.Â
Perbaikan trotoar di sisi timur Malioboro yang diikuti dengan pemindahan dan penataan kantung parkir kendaraan membuat area pejalan kaki menjadi jauh lebih nyaman. Lantai trotoar diganti dengan ubin-ubin berkualitas baik. Pilar-pilar dipasang di beberapa sisi untuk membatasi trotoar dengan jalan raya sekaligus mencegah kendaraan memasuki trotoar.
Beberapa aktivitas kini bisa dilakukan secara lebih nyaman di Malioboro. Membaca buku sambil duduk di kursi Malioboro menjadi kebahagiaan dan kenikmatan yang dapat dirasakan. Fasilitas internet melalui wifi bisa diakses tanpa password. Pada 15 Juli 2017, saya mencoba mengakses fasilitas internet ini di trotoar di depan Gedung DPRD. Meski tidak terlalu kencang, tapi bisa untuk membuka dan membaca sejumlah portal berita dengan lancar. Saat berpindah ke depan Malioboro Mall hingga Ramayana, internet itu pun masih bisa diakses.
Tidak ada Malioboro baru karena selamanya hanya akan ada satu Malioboro. Hal yang saat ini sedang terjadi adalah proses menghadirkan keseimbangan baru bagi Malioboro. Keseimbangan lama yang pernah berlaku tidak bisa lagi diterapkan. Mengembalikan Malioboro ke kondisi semula juga hampir tak mungkin dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H