Malam telah larut. Namun, suasana angkringan “Le Waroenk" di Kota Yogyakarta pada Sabtu (25/3/2017) itu masih ramai. Suara gelak tawa beberapa kali terdengar dari gerombolan orang yang berkumpul di sebuah meja dan kursi di sisi depan angkringan. Sementara pengunjung lainnya duduk santai menyebar di beberapa sudut. Ada pula yang asyik lesehan di sisi dalam warung.
Bermula dari pesan whatsapp, malam itu saya bergegas menuju “Le Waroenk" menembus rintik hujan yang sudah turun sejak petang. Hujan kemudian menderas, mengecil, lalu menderas dan mengecil lagi. Demikian terus berluang seperti sedang memainkan cuaca yang tak selesai hingga hari berganti.
Di antara gerombolan malam itu, kompasianer Arif L Hakim adalah yang pertama kali datang pada pukul 21.00. Menyusul kemudian saya. Sekitar 20 menit kemudian, kompasianer Ang Tek Khun juga tiba. Obrolan seputar hajatan besar yang rencananya akan digelar bulan Mei menjadi pengisi waktu kami bertiga.
Duduk bertiga seperti ini sedikit mengingatkan saya pada masa sekitar 2 tahun silam. Saat itu kami berkumpul santai memperbincangkan rencana pendirian komunitas Kompasianer Jogja (KJog). Waktunya juga malam hari. Hanya saja tempatnya di angkringan yang berbeda. Setelah KJog lahir kami bertiga justru jarang kumpul bersama lagi. Dalam 3 bulan terakhir saja saat K-Jog menggelar dan terlibat dalam belasan kegiatan, hanya 4-5 kali saya bisa berpartisipasi.
Saat hujan mulai deras, COO Kompasiana Iskandar Zulkarnaen dan koleganya dari Kompasiana Deri menampakkan diri. Konon mereka baru dari Malioboro mencari batik. Datang dengan mengenakan kaus dan bercelana pendek di tengah malam yang basah dan dingin, keduanya seperti turis yang sengaja mencari “kesejukan” di Yogyakarta. Jakarta memang terlalu “panas” akhir-akhir ini.
Kami berlima lalu melanjutkan obrolan seputar rencana kegiatan bulan Mei. Sebuah acara yang akan melibatkan sejumlah komunitas dengan Yogyakarta sebagai tuan rumahnya.
Tidak terlalu lama pembahasan tersebut berlangsung. Selanjutnya, obrolan kami berganti-ganti cerita. Sempat menyinggung masalah politik, pemerintahan, dan akhirnya bermuara pada percakapan seputar Masyarakat Digital Jogja (Masdjo).
Sejam kemudian datang Elizhabet Elzha dan Pipit, dua wanita pegiat media sosial dan komunitas di Yogyakarta yang juga aktif dalam jaringan Masdjo. Meski belum lama bergabung sebagai kompasianer, tapi mereka sudah lama terbiasa memproduksi konten di media sosial.
Penabuh Langgam Medsos
Dari obrolan malam itu, juga menyimak cerita Arif L Hakim dan mengamati keriaan Elzha dan Pipit bermain twitter, saya menjadi sedikit tahu tentang Masdjo. Nama Masdjo sendiri pertama kali saya dengar beberapa bulan lalu. Pak Khun selaku koordinator KJog aktif di Masdjo bersama mas Arif. KJog pun beberapa kali turut dalam kegiatan Masdjo.
Masyarakat Digital Jogja bisa dikatakan sebuah persekutuan atau persenyawaan sejumlah entitas pegiat dunia maya, khususnya media sosial yang berbasis di Yogyakarta. Line up utamanya berisi para pengelola akun informasi publik, pembuat konten (bloger, vloger, dan kreator lainnya), serta pegiat dari berbagai latar belakang dan ilmu yang sama-sama menggauli media sosial dan dunia maya.
Berhimpunnya para akun informasi publik Yogyakarta dalam persekutuan Masdjo cukup menarik. Jumlah follower akun-akun ini tak kalah banyak dengan artis atau selebritis. Mereka bisa dianggap sebagai selebtwit dalam konteks yang berbeda di Yogyakarta. Setidaknya hal itu yang saya tangkap selama menjadi follower akun twitter @infoseni_ dan @infojogja.
Saya sempat berusaha membandingkan aktivitas maya akun informasi publik Yogyakarta dengan sejumlah buzzer. Kebetulan pada 2016 saya pernah bertemu secara langsung dengan beberapa buzzer papan atas nasional. Nama-nama mereka cukup populer dan sering muncul di baris utama setiap trending topic politik, terutama yang menyangkut Jokowi dan Prabowo, serta turunannya seperti Ahok, Anies Baswedan, dan AHY pada Pilkada DKI 2017. Wajah mereka juga beberapa kali terekam di media.
Cukup banyak trending topic politik era kini, termasuk seputar kontroversi penistaan agama oleh Ahok, menampilkan nama-nama buzzer itu. Cuitan mereka mengalir deras di twitter hampir setiap hari. Beberapa kali mereka juga terlibat dalam medan “twitwar”.
Itu sebabnya saat duduk semeja dan berinteraksi dengan para buzzer itu saya sempatkan mencermati bagaimana mereka “bekerja” mengendalikan lini masa. Sebagai orang yang tidak terlalu aktif di media sosial, saya tercengang dengan irama dan militansi mereka.
Dalam aspek tertentu ada kemiripan antara akun informasi publik Yogyakarta dengan para “selebtwit” politik atau buzzer yang saya maksud di atas. Semuanya sama-sama menabuh langgam media sosial untuk menarik perhatian publik.
Walau demikian, keduanya tidak sepenuhnya bisa dibandingkan meski mengandalkan “mesin” yang sama. Akun informasi publik Yogyakarta mengambil posisi yang barangkali berbeda. Ketimbang masalah politik, mereka kerap berada di koridor lain yang lebih “menggembirakan”. Hal itu bisa dilihat dari lini masa mereka dan juga dari persekutuan Masdjo.
Ketimbang membentuk opini publik, aktivitas Masdjo lebih menukik pada penyediaan ruang aktif publik agar terlibat pada isu-isu yang diangkat bersama, selain tentu saja mengangkat hal-hal ringan khas obrolan orang Jogja. Langgam yang ditabuh oleh Masdjo melalui media sosial, terutama facebook, twitter, dan blog (Kompasiana) tampak lebih organik. Walau bisa jadi ada unsur di dalam Masdjo yang bertindak sebagai buzzer, tapi ekspresi Masdjo lebih obyektif. Sejauh mana sikap objektif itu bertahan ketika menemui isu-isu besar seperti pemerintahan atau kraton, waktu yang akan menguji.
Karakter organik tersebut barangkali berasal dari setiap entitas yang bersekutu di dalam Masdjo. Para pengelola akun informasi publik, bloger, content creator, dan netizen yang berjejaring dalam Masdjo seperti halnya “demos”, yaitu kelompok yang mendedikasikan diri untuk mendorong perubahan sosial yang lebih baik di dunia nyata melalui dunia maya (media sosial). Kelompok demos ini mengabdi sebagai penabuh langgam facebook, twitter, dan blog yang kemudian menggelar forum percakapan seputar gagasan dan isu-isu publik.
Dalam kerajaan netizen, kelompok demos memang golongan minoritas alias paling sedikit jumlahnya. Namun, mereka sering berhasil menciptakan suplemen yang mengedukasi dan memberdayakan kelompok lain melalui jejaringnya. Apakah Masdjo memang melahirkan dirinya sebagai demos?. Tanyakan saja ke mereka.
Kekuatan Jari
Mendekati pukul 11 malam, "majelis" kami belum beranjak pergi. Selain karena hujan yang belum reda, suasana juga semakin seru. Terutama setelah kedatangan seorang laki-laki berperawakan agak mungil. Ia adalah penunggu akun twitter @guyonangkring yang “femes” di Yogyakarta. Maka dari itu ia pun salah satu bagian dari Masdjo.
Tak butuh waktu lama baginya menciptakan keriuhan di tengah tensi obrolan kami yang sempat menurun seiring malam yang semakin pekat. Salah satunya lewat celetukan lugu “ethor”. Beberapa kali ia menyebut “ethor” dalam pernyataanya yang bernada kritik.
Menyadari ada yang ganjil, Elzha dan Arif L Hakim buru-buru mengembalikan “ethor” ke jalan yang benar: “earth hour”. Barangkali jikalau ada di antara pengunjung angkringan malam itu ternyata aktivis WWF, maka kami bisa diperkarakan dengan tuduhan penistaan “earth hour” yang telah menjadi agenda penting aktivis dunia.
Semua kompak menatap layar smartphone masing-masing. Jemari pun bermain. Tapi saya hanya mencuit #syurhat dua kali. Lagi-lagi karena saya kurang berbakat untuk hal seperti ini. Kecuali jika kultwit tentang KAHITNA.
Hanya dalam hitungan menit, #syurhat sudah muncul di trending topic nasional nomor 5. Tawa pun tak terelakkan manakala membaca cuitan-cuitan lucu beratribut #syurhat.
***
Dari sudut angkringan Yogyakarta di tengah malam itu, lahir #syurhat. Mas Isjet, begitu COO Kompasiana biasa dipanggil, terlihat antusias mengikutinya. Hasilnya, setelah satu jam #syurhat mendominasi linimasa kami dan berhasil menarik para pengguna twitter lainnya untuk mengikuti. Lalu dua jam kemudian saat hari telah berganti, #syurhat secara organik telah bertahta di puncak trending topic twitter, mengungguli JKT48 dan melewati #earthhour yang baru saja “ternistakan” jadi “ethor”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H