Hari ini, 9 Maret, kembali diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Peringatan ini adalah wujud pengakuan diri bangsa Indonesia bahwa musik merupakan bagian dari kebanggaan nasional. Melalui peringatan Hari Musik Nasional, insan musik dapat semakin termotivasi untuk berprestasi. Masyarakat pun diharapkan senantiasa mendukung perkembangan musik di tanah air. Peran dan kedudukan musik sangat strategis dalam industri kreatif yang  sedang gencar dibangun oleh pemerintah saat ini. Tanggal 9 Maret juga merupakan kelahiran pencipta lagu Indonesia Raya WR Supratman.
Kebiasaan bersenandung, menulis syair, dan memainkan tabuhan tradisional menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat akrab dengan kegiatan bermusik sejak dulu. Tak hanya musik tradisional atau etnis, berbagai genre mulai dari dangdut, pop, rock, jazz, blues, campur sari dan lain sebagainya mendapatkan ruang di Indonesia.Â
Sejarah mencatat, banyak musisi dan karya hebat lahir dalam setiap zaman dan periode perkembangan musik di Indonesia. Industri musik di tanah air seolah tak pernah kehabisan bakat. Sejumlah legenda pun musik masih setia berkarya. Para penikmat musik seolah terus  berpesta dengan karya-karya yang terus bermunculan.
Memasuki ruangannya, pengunjung akan langsung dihadapkan dengan etalase koleksi piringan hitam di samping pintu. Saat pandangan menyapu seisi ruangan, terlihat lebih banyak lagi koleksi yang terpajang rapi di sejumlah rak dan lemari. Pada salah satu dinding terpampang potret besar Chrisye.
Museum ini merupakan satu-satunya museum musik di tanah air. Meski baru diresmikan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI pada 19 November 2016, sejarah MMI sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Cikal bakalnya adalah Komunitas Pecinta Katjoetangan (Kayutangan) yang eksis sejak 1970-an. Komunitas ini berisikan para pecinta musik yang yang menghibahkan diri, tenaga, waktu, dan hartanya untuk merawat warisan musik yang ada. Kayu tangan sendiri dikenal sebagai daerah tempat berkumpulnya para pegiat seni di Malang tempo dulu.Â
Seiring waktu, bendera Komunitas Pecinta Katjoetangan menjelma menjadi Galeri Malang Bernyanyi pada 2009. Galeri Malang Bernyanyi kemudian bertransformasi menjadi Museum Musik Indonesia pada 2015. Setelah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM, MMI pun resmi berdiri. Pemerintah Kota Malang memberi dukungan dengan mengizinkan pengelola museum untuk menggunakan Gedung Kesenian Gajayana sebagai tempat Museum Musik Indonesia.
Beberapa koleksi tergolong cukup langka dan sangat bernilai. Seperti kaset dari tahun 1950-an dan piringan hitam dari tahun 1924. Semua koleksi lawas yang ada masih dalam kondisi baik dan bisa diperdengarkan.
Sebagian besar koleksi di Museum Musik Indonesia didapatkan dari sumbangan para pecinta musik dan kolektor, baik dari Malang maupun luar Malang. Sebanyak 60-70%Â Â koleksi merupakan karya musisi Indonesia. Sisanya adalah musisi luar negeri, mulai dari Eropa hingga Amerika Latin. Jika didata barangkali koleksi tersebut berasal dari sekitar 100 negara.