Mulut Mas Ken (kompasianer Ken Shara Izda) tak berhenti mengunyah. Di depannya tersaji hidangan sate beserta nasi, kuah gulai, dan beberapa pelengkap lainnya. Cuaca dingin akibat gerimis yang masih turun di luar seolah melipatgandakan nafsu makannya. Selain itu, melihat air muka mas Ken dan caranya bersantap yang penuh semangat, sate yang dimakannya sepertinya memang istimewa.
“Enak!” Itulah jawaban Mas Ken saat ditanya kesannya menikmati sate klathak di Warung Nglathak, pada Selasa (17/1/2017) sore kemarin. Saat itu kami berdua dan 11 Kompasianer Jogja (Kjog) lainnya sedang dolan kuliner di tempat makan yang tergolong masih baru tersebut.
Warung Nglathak beralamat di Jalan Gambiran Karangasem Baru, Gang Seruni No. 7, Kabupaten Sleman, DIY. Jaraknya sekitar 300 meter dari Fakultas Teknik UNY dan Fakultas Peternakan UGM. Dari sisi utara kedua kampus itu, gapura Jalan Gambiran Karangasem Baru sudah terlihat. Ikuti saja jalannya hingga menjumpai spanduk merah bertuliskan “Nglathak Sate Klathak Kekinian”. Gang Seruni berada di sisi kanan spanduk tersebut dan Warung Nglathak hanya berjarak sekitar 40 meter dari mulut gang. Jika spanduk tersebut nantinya dilepas, papan nama Pesantren Sulaimaniyah yang berada di pinggir Jalan Gambiran dan ujung Gang Seruni bisa menjadi patokan.
Brand “Nglathak” sengaja dipilih untuk membuatnya berbeda dari kebanyakan warung sate yang berlabel nama penjualnya. Selain itu, “Nglathak” juga mewakili sebutan untuk aktivitas berkumpul sambil menyantap sate klathak.
Keberadaan Warung Nglathak di kawasan kampus UGM dan UNY ini bisa dikatakan tidak biasa karena sate klathak bukanlah makanan yang populer di kalangan warga kampus, terutama mahasiswa. Meski dianggap sebagai salah satu kuliner khas Yogyakarta, sate klathak lebih umum dijumpai di kawasan selatan Kota Yogyakarta, seperti Bantul. Menyantap sate klathak juga belum menjadi budaya makan sehari-hari mahasiswa atau anak muda.
Demi mendekatkan diri dengan anak muda dan mahasiswa, Warung Nglathak pun bertransormasi. Sate Klathak Kekinian diangkat menjadi label untuk menarik perhatian. Tempat berjualan hingga penyajian sate klathak diatur sedemikian rupa agar lebih sesuai dengan selera kekinian. Mas To menyebut Warung Nglathak miliknya kini lebih “ramah" anak muda dengan menyuguhkan sesuatu yang “instagramable”.
Ruang makan Warung Nglathak yang sebenarnya tidak terlalu besar dibuat senyaman mungkin dengan menempatkan sejumlah ornamen. Beberapa lampu ditempel di dinding maupun langit-langit ruangan. Ada juga dibungkus dengan anyaman rotan untuk menambah kesan estetis. Fasilitas internet dengan akses wifi pun disediakan.
Di dalam ruangan terpasang wallpaper berukuran besar berwarna merah yang bertuliskan sejumlah kutipan menarik. Sementara beberapa potongan kayu bertuliskan nasihat, pengingat, dan ajakan, ditempel di dekta jendela.
Meja dan kursinya yang dipilih berwarna polos yang memperlihatkan guratan alur serat kayu. Untuk memberikan pengalaman tersendiri kepada pengunjung, pada setiap meja terdapat kantung kain berisi buku. Harapannya buku-buku tersebut bisa dibaca oleh pengunjung sambil menunggu pesanannya tiba atau di sela-sela bersantap. Warung Nglathak ingin sekalian mengajak masyarakat melakukan hal-hal positif, seperti membaca.