Perayaan Sekaten di Yogyakarta akan memasuki puncaknya pada Senin, 12 Desember 2016. Seperti yang sudah-sudah, kegiatan yang dimaksudkan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW ini lebih didominasi oleh kemeriahan Pasar Sekaten yang digelar di Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta dan sekitarnya selama hampir satu bulan.Â
Setiap hari Pasar Sekaten disesaki oleh ribuan penjual dan pengunjung. Sore hingga malam menjadi saat yang paling ramai. Penjual pakaian, produk kecantikan, serta aneka wahana permainan menjadi daya tarik utama sekaligus yang paling menonjol di Pasar Sekaten masa kini. Tak heran jika banyak yang menganggap Sekaten di era modern telah menyimpang dari makna awal.Â
Salah satu yang saya temui pada Jumat (9/12/2016) sore adalah seorang ibu bernama Tugiyem. Sehari-hari wanita yang tinggal di Sewon, Bantul tersebut sebenarnya berjualan nasi di warung di sekitar kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Selama Sekaten ia berjualan Kinang dan Endhog Abang (telur merah) di halaman Masjid Gedhe Kauman. Sementara usaha warung nasi diurus oleh saudaranya.
Kinang adalah gabungan dari lima bahan, yaitu daun sirih, tembakau, gambir, kapur, dan bunga Kanthil yang disatukan secara sederhana. Lima bahan tersebut merupakan perlambang rukun Islam. Sementara itu, Endhog Abang adalah telur ayam atau telur bebek yang direbus dan diberi pewarna merah pada cangkangnya. Seringkali endhog abang ditusuk dengan bilah bambu dan diberi hiasan seadanya dari kertas dengan tujuan menarik perhatian anak-anak. Tapi sebenarnya endhog abang merupakan gambaran manusia yang baru lahir atau bayi yang masih merah. Agar kuat, seorang manusia perlu disokong oleh tiang agama yang kuat sejak bayi. Tiang keyakinan agama itulah yang dilambangkan dengan bilah bambu.
Bu Tugiyem menjual setiap Kinang dengan harga Rp1.000,00 dan Rp4.000,00 untuk sebutir Endhog Abang. Meski tidak banyak untung yang didapatkan, namun ia tetap berjualan setiap Sekaten digelar. Berkat Bu Tugiyem dan penjual Kinang serta Endhog Abang lainnya yang jumlahnya tidak banyak, tradisi-tradisi Sekaten mampu bertahan hingga kini meski dengan napas yang terengah-engah.
Di halaman Masjid Gedhe Kauman saya juga menjumpai Pak Maskus yang berjualan es beras kencur, kunir asem, dan gula asem. Pada hari biasa pria asal Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta itu banyak berjualan di obyek wisata Taman Sari. Tapi saat Sekaten ia memilih berada sementara di halaman Masjid Gedhe Kauman dengan membayar retribusi Rp3.000,00 per hari.Â
Pak Maskus mengaku sudah 20 tahun berjualan es jamu yang dibuatnya sendiri. Sebelum berjualan di Taman Sari dan Sekaten, ia menjadikan kawasan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai tempat mencari nafkah. Di kampus ia mengaku setiap hari jualannya laris. Namun, sejak beberapa tahun terakhir ia terpaksa meninggalkan UGM karena kebijakan baru universitas yang menata ulang kawasan kampus dan membatasi PKL yang berjualan.
Ia lalu berjualan di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Akan tetapi belum lama berada di tempat barunya, ia harus kembali pindah karena larangan berjualan di tempat tersebut. Meskipun demikian ia tak putus asa. Setiap hari ia tetap berjualan sambil mengayuh sepeda yang bagian depannya dimodifikasi sebagai gerobak untuk meletakkan botol-botol minuman jamu.