Tempatnya berjualan sangat sederhana. Mbah Tumirah hanya duduk beralaskan plastik berwarna merah muda yang sekaligus menjadi tempat meletakkan jualannya. Saat saya membeli sebungkus kacang rebus seharga Rp5.000,00, saat itulah saya mendengar sedikit kisahnya.
Nenek yang memiliki empat anak dan sembilan cucu tersebut sehari-hari ternyata masih giat mencari nafkah dengan berkeliling menjajakan nasi di sekitar tempat tinggalnya di Desa Ringinharjo, Kabupaten Bantul. Saat Sekaten berlangsung ia melanjutkan harinya dengan meninggalkan rumah untuk berjualan kacang di Alun-alun Utara.
“Lha wong cuma ini sing modale ringan,” jawabnya ketika saya tanya mengapa ia memilih berjualan kacang selama Sekaten. Mbah Tumirah lalu mengatakan kalau ia membeli kacang mentah seharga Rp9000 per kilogram. Kacang tersebut kemudian ia rebus dan sebagian digoreng untuk dibawa ke Pasar Sekaten. Hari itu ia mengaku membawa 13 kilogram kacang.
Tentang perbedaan Pasar Sekaten sekarang dan dulu, Mbah Tumirah yang sudah berjualan di Sekaten sejak 1970 berkata singkat. “Dulu banyak banget yang jualan kacang rebus kaya saya. Sekarang ya kaya gitu,” jawabnya sambil melirik penjual lain di sekitarnya. Saya pun mengikuti arah pandangannya. Mungkin yang ia maksud adalah para penjual sosis bakar dan burger yang berserakan di setiap sudut Pasar Sekaten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H