Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Tugiyem, Maskus, dan Mbah Tumirah di Pasar Sekaten Yogyakarta

11 Desember 2016   11:41 Diperbarui: 11 Desember 2016   17:29 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri ke kanan: Tugiyem, Maskus, dan Mbah Tumirah. Mereka adalah sebagian orang yang tidak sekadar berjualan di Sekaten Yogyakarta, tapi juga ikut merawat tradisi yang kini kian terdesak oleh kepentingan bisnis (dok. pri).

Tempatnya berjualan sangat sederhana. Mbah Tumirah hanya duduk beralaskan plastik berwarna merah muda yang sekaligus menjadi tempat meletakkan jualannya. Saat saya membeli sebungkus kacang rebus seharga Rp5.000,00, saat itulah saya mendengar sedikit kisahnya.

Nenek yang memiliki empat anak dan sembilan cucu tersebut sehari-hari ternyata masih giat mencari nafkah dengan berkeliling menjajakan nasi di sekitar tempat tinggalnya di Desa Ringinharjo, Kabupaten Bantul. Saat Sekaten berlangsung ia melanjutkan harinya dengan meninggalkan rumah untuk berjualan kacang di Alun-alun Utara. 

“Lha wong cuma ini sing modale ringan,” jawabnya ketika saya tanya mengapa ia memilih berjualan kacang selama Sekaten. Mbah Tumirah lalu mengatakan kalau ia membeli kacang mentah seharga Rp9000 per kilogram. Kacang tersebut kemudian ia rebus dan sebagian digoreng untuk dibawa ke Pasar Sekaten. Hari itu ia mengaku membawa 13 kilogram kacang.  

Mbah Tugiyem, nenek berusia 65 tahun yang berjualan kacang rebus, kacang goreng, serta air mineral di antara hiruk pikuknya Pasar Sekaten Yogyakarta (dok. pri).
Mbah Tugiyem, nenek berusia 65 tahun yang berjualan kacang rebus, kacang goreng, serta air mineral di antara hiruk pikuknya Pasar Sekaten Yogyakarta (dok. pri).
Demi berjualan di Pasar Sekaten, mbah Tugiyem meninggalkan rumahnya di Bantul dan tidur di halaman Masjid Gedhe Kauman (dok. pri).
Demi berjualan di Pasar Sekaten, mbah Tugiyem meninggalkan rumahnya di Bantul dan tidur di halaman Masjid Gedhe Kauman (dok. pri).
Dalam sehari dari sore hingga malam kacang yang dijualnya di Sekaten bisa terjual habis. Karena berjualan hingga malam ia pun menginap dengan menumpang tidur di halaman Masjid Gedhe Kauman. Pagi-pagi sekali baru ia akan pulang sambil mampir membeli kacang mentah. 

Tentang perbedaan Pasar Sekaten sekarang dan dulu, Mbah Tumirah yang sudah berjualan di Sekaten sejak 1970 berkata singkat. “Dulu banyak banget yang jualan kacang rebus kaya saya. Sekarang ya kaya gitu,” jawabnya sambil melirik penjual lain di sekitarnya. Saya pun mengikuti arah pandangannya. Mungkin yang ia maksud adalah para penjual sosis bakar dan burger yang berserakan di setiap sudut Pasar Sekaten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun