Ketika pertama kali jajan di angkringan beberapa tahun lalu, saya terkejut karena harus membayar Rp23000 untuk beberapa makanan sederhana yang saya santap. Tentu saja jumlah itu tentu terbilang “mahal” untuk kelas angkringan yang dikenal merakyat. Namun, sepulangnya malam itu saya tak jera untuk jajan di angkringan.
Padahal, apasih enaknya menu di angkringan?. Kalau mau jujur makanan-makanan di angkringan sebenarnya tidaklah istimewa. Dari segi rasa juga biasa saja. Apakah kita akan mengatakan nasi kucing lebih enak dibanding nasi uduk?. Gorengan-gorengan di angkringan juga hampir selalu disajikan dalam keadaan sudah dingin. Beberapa macam sate seperti sate usus dan sate telur puyuh juga tidak berbeda dengan yang disajikan di warung-warung soto. Tempe dan tahu bacem di angkringan juga dengan mudah ditemui di penjual lainnya.
Meskipun demikian ada mitos yang berkembang bahwa es teh atau teh hangat di angkringan jauh lebih nikmat dibanding teh manapun. Meski sebenarnya tidak terlalu cermat membandingkan rasanya, menurut saya teh buatan penjual angkringan memang “beda”.
Karena tidak sedang lapar, saya hanya memesan teh hangat kepada seorang anak muda yang menjadi penjualnya. Sambil menenggak segelas teh saya pun menguping pembicaraan antara sang penjual dengan seorang pembeli. Mereka sedang berbincang tentang fenomena RB Leipzig, klub di Bundesliga Jerman yang dianggap titisan Leicester City dari Liga Inggris.
Isi teh di gelas tinggal separuh saat seorang bapak datang dan ikut bergabung duduk di angkringan. Sambil melepas jaket hijau dan meletakkannya di atas sepeda motornya, ia memesan minuman dan mengambil sebatang rokok. “Bapak Gojek, ya?”, tanya saya. Dengan ramah ia pun mengiyakan.
Gesture sang bapak terlihat santai dan sejak pertanyaan pertama yang saya ajukan tersebut, ia justru melanjutkannya dengan bercerita tentang hal-hal menarik seputar kesehariannya sebagai pengemudi Gojek. Begitu asyiknya ia bercerita hingga sebatang rokok yang ia pesan belum juga disulut.
Saat saya bertanya apa saja yang membuat seorang pengemudi Gojek dikenai sanksi, ia pun kembali bercerita. Rating dan komentar yang diberikan penumpang melalui aplikasi Gojek benar-benar diperhatikan oleh manajemen. Jika ada respon yang kurang baik, sang pengemudi akan dipanggil untuk dimintai penjelasan. Sanksi yang diberikan bisa berupa larangan beroperasi sebagai pengemudi Gojek selama beberapa hari atau kembali mendapat training untuk memperbaiki performa.
Penjelasan tentang training juga menjawab penasaran saya selama ini tentang “kode etik” pengemudi Gojek. Jika kita perhatikan, para pengemudi Gojek akan selalu menyapa atau membunyikan klakson saat berpapasan dan melewati pengemudi Gojek lainnya. Menurut sang bapak, hal itu sudah ditekankan kepada setiap pengemudi saat training. “Supaya ada satu rasa antar pengemudi”, begitu katanya. Ia lalu menambahkan jika para pengemudi Gojek juga diberi kiat untuk menarik simpati pelanggan agar mendapatkan rating yang baik.
Perbincangan saya dengan bapak pengemudi Gojek berlanjut. Tak sadar ternyata tidak hanya teh manis yang saya nikmati. Sebungkus nasi kucing, tahu bacem dan cemilan lainnya menemani saya menyimak cerita sang bapak.