Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

2 Tahun Jokowi-JK, Masalah Ketimpangan Jadi Alarm Tanda Bahaya

24 Oktober 2016   14:01 Diperbarui: 24 Oktober 2016   17:16 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketimpangan di Indonesia ditunjukkan dengan besarnya angka/koefisien gini.

Indonesia akan bergerak menjadi negara maju pada 2030. Begitulah prediksi sejumlah pakar dan lembaga internasional yang menempatkan negara ini sebagai kandidat  jagoan baru dalam peta perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir menjadi tolak ukurnya.

Akan tetapi, kinerja perekonomian bukanlah satu-satunya faktor penentu kemajuan sebuah bangsa. Angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga tidak otomatis menjadi ukuran kesejahteraan penduduk. Sayangnya, inilah yang sedang dialami oleh Indonesia. Di balik indikator  angka yang mengagumkan tersebut, ada sebuah alarm tanda bahaya yang sedang menyala, yaitu ketimpangan ekonomi.

Ketidakadilan yang Langgeng

Pasca reformasi, kondisi ketimpangan di Indonesia justru semakin parah dan menjadi salah satu yang tertinggi di Asia. Capaian pertumbuhan ekonomi selama ini pun dianggap kurang bermakna. Hal itu terungkap dalam diskusi ketimpangan ekonomi yang merupakan bagian dari kegiatan “Peningkatan Peran Perguruan TInggi Dalam Pembinaan dan Edukasi ke Masyarakat di Bidang Ilmi Ekonomi Melalui Kolaborasi dengan Komunitas Netizen Yogyakarta”, pada Minggu (23/10/2016).

Dalam kesempatan tersebut peneliti pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Abraham Wirotomo, memaparkan pandangan dan hasil kajiannya terhadap sejumlah permasalahan menyangkut ketimpangan di Indonesia. “Ada ketimpangan yang terlalu mencolok antara yang kaya dengan yang miskin di Indonesia”, tegasnya.

Hal itu bisa dilihat dari angka gini yang memuat kesenjangan pendapatan antar penduduk di Indonesia. Selama periode 2006 hingga 2013 nilai gini terus meningkat hingga menyentuh angka 0,41. Semakin mendekati nilai 1 berarti ketimpangan atau kesenjangan semakin lebar. Kondisi tersebut banyak terjadi di daerah Indonesia timur.

Abraham Wirotomi, peneliti FEB UGM memaparkan kondisi ketimpangan di Indonesia (dok. Hendra Wardhana).
Abraham Wirotomi, peneliti FEB UGM memaparkan kondisi ketimpangan di Indonesia (dok. Hendra Wardhana).
Besarnya ketimpangan juga terlihat dari kemiskinan yang menjerat jutaan penduduk Indonesia. Hingga 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 28,55 juta penduduk Indonesia berada dalam kondisi sangat miskin. Artinya 1 dari 9 penduduk negeri ini adalah orang miskin. Namun, Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa melebihi angka tersebut karena ada banyak penduduk yang  hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan.

Menariknya, persepsi orang Indonesia terhadap ketimpangan ekonomi ternyata tidak seragam. Sebagian penduduk tidak mempermasalahkan ketimpangan karena hal itu diperoleh dari hasil kerja keras. Sementara sebagian lagi menganggap ketimpangan sebagai ketidakadilan. Mereka yang memiliki pandangan demikian biasanya memiliki pengalaman sebagai “korban” kemajuan yang terjadi di daerah tempat tinggalnya. Misalnya masyarakat yang terpinggirkan di sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit.

Catatan penting lainnya, penduduk miskin di Indonesia seringkali tidak menyadari kemiskinan itu sendiri. Meskipun pada saat yang sama ada banyak penduduk yang mengalami kecemasan sosial dan mempersepsikan kemiskinan dalam kehidupannya.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Ketimpangan ekonomi di Indonesia telah mencapai titik yang dalam dan meluas hingga menyebabkan ketimpangan dalam hal mengakses sumber kebutuhan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan energi listrik. Di Indonesia hanya sekitar 55% anak dari keluarga miskin yang mampu menuntaskan pendidikan menengah pertama. Akses tehadap fasilitas keseharan masih sangat kurang di wilayah Indonesia timur. Sementera akses terhadap air bersih hanya dimiliki oleh separuh penduduk miskin di desa. Hal yang sama berlaku dalam hal akses listrik dan telekomunikasi yang masih dominan berada di Jawa.

Menurut Abraham ketimpangan yang lebar di Indonesia saat ini tidak lepas dari pembangunan sentralistik yang berlangsung selama puluhan tahun di masa orde baru. Pengerahan sumber daya dan dana untuk Jawa telah menimbulkan ketidakadilan  pemenuhan kebutuhan hidup banyak penduduk Indonesia yang tinggal di luar Jawa, terutama di Indonesia timur. Hal itu diperparah dengan capaian pemerintah yang tidak terlalu mengesankan dalam menanggulangi ketimpangan. Sejumlah kebijakan termasuk melalui bantuan tunai tidak sepenuhnya menjangkau daerah tertinggal dan terpencil. Akibatnya ketimpangan di negera ini semakin langgeng.

Ancaman Disintegrasi

Dengan melihat kondisi ketimpangan yang ada, Indonesia tentu harus bekerja keras. Tidak sekadar mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, tapi juga  meningkatkan kepedulian terhadap pembangunan yang lebih adil. Niat dan upaya pemerintahan Jokowi-JK yang mulai menyentuh daerah-daerah di luar Jawa patut diapresiasi. Akan tetapi, hal itu masih perlu dibuktikan melalui capaian pembangunan yang inklusif dan berkesinambungan.

Selain itu, Abraham menyoroti dukungan politik dan kesungguhan pelaku usaha yang belum maksimal berpihak pada pembangunan di luar Jawa. Kemudahan membangun usaha di Jawa terlanjur membuat nyaman para pemilik modal. Jika tidak segera berubah, upaya pemerataan yang digagas Presiden Jokowi akan sulit tercapai.

Ketimpangan di Indonesia ditunjukkan dengan besarnya angka/koefisien gini.
Ketimpangan di Indonesia ditunjukkan dengan besarnya angka/koefisien gini.
Belajar dari sejumlah kebijakan yang tidak efektif, pemerintah perlu segera  memperbaiki target sejumlah kebijakan termasuk mengevaluasi program jaminan sosial yang sudah berjalan. Efektivitas yang rendah dalam pelaksanaan program justru berpotensi melanggengkan ketimpangan.

Apalagi, ditambah kebijakan yang cenderung berpihak pada kelompok menengah ke atas seperti Tax Amnesty. Kebijakan ini dianggap menyisakan ketidakadilan bagi masyarakat yang setiap hari dikenakan pajak atas barang-barang konsumsi maupun pajak lainnya yang dibayarkan sesuai ketentuan. Sementara pada saat yang sama para pengemplang pajak besar justru diampuni.

Contoh lainnya adalah BPJS Kesehatan yang diam-diam menimbulkan celah ketidakadilan baru di Indonesia. Penduduk di Indonesia timur tetap membayar iuran tapi klaim dan fasilitas kesehatan yang diterima minim. Sementara di Jawa klaim BPJS justru lebih tinggi dibanding iurannya. “Iuran yang dibayar oleh penduduk di Indonesia timur digunakan untuk menutupi defisit di Jawa. Ini kan tidak adil”, kata Abraham. Namun,  ia sepakat bahwa jaminan sosial tetap dibutuhkan sehingga sistem BPJS Kesehatan perlu dimodifikasi agar lebih adil bagi penduduk di luar Jawa.

Dua orang anak perempuan berdiri di bawah panggung rumahnya di Kertasari, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB. Masa anak-anak Indonesia ditentukan oleh upaya bersama untuk mengatasi ketimpangan sejak saat ini (dok. Hendra Wardhana).
Dua orang anak perempuan berdiri di bawah panggung rumahnya di Kertasari, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB. Masa anak-anak Indonesia ditentukan oleh upaya bersama untuk mengatasi ketimpangan sejak saat ini (dok. Hendra Wardhana).
Ketimpangan di tengah-tengah masyarakat juga melunturkan ikatan kepercayaan antar manusia. Munculnya sikap berontak atau gerakan separatis oleh sejumlah kelompok di Indonesia tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Abraham menambahkan bahwa kelompok separatis sebenarnya tidak bercita-cita untuk memberontak karena  itu melelahkan. Tapi mereka terpaksa melakukannya demi keadilan dan masa depan anak cucunya.

Selanjutnya, mengingkat kompleksitas masalah yang ada, mengatasi ketimpangan tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah. Peran dan kesadaran masyarakat juga mutlak dibutuhkan. Sangat penting untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat, terutama yang selama ini telah menikmati gemerlap pembangunan di Jawa, agar mau berbagi dengan saudara sebangsa yang masih bernestapa.  

Mengatasi ketimpangan  yang membelenggu Indonesia  harus menjadi ikhtiar besar bersama. Hanya dengan cara demikian integrasi nasional dapat terjaga. “Jika ketimpangan ini dibiarkan Indonesia bisa pecah dan tercerai berai pada 3015”, tegas Abraham memprediksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun