Indonesia akan bergerak menjadi negara maju pada 2030. Begitulah prediksi sejumlah pakar dan lembaga internasional yang menempatkan negara ini sebagai kandidat jagoan baru dalam peta perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir menjadi tolak ukurnya.
Akan tetapi, kinerja perekonomian bukanlah satu-satunya faktor penentu kemajuan sebuah bangsa. Angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga tidak otomatis menjadi ukuran kesejahteraan penduduk. Sayangnya, inilah yang sedang dialami oleh Indonesia. Di balik indikator angka yang mengagumkan tersebut, ada sebuah alarm tanda bahaya yang sedang menyala, yaitu ketimpangan ekonomi.
Ketidakadilan yang Langgeng
Pasca reformasi, kondisi ketimpangan di Indonesia justru semakin parah dan menjadi salah satu yang tertinggi di Asia. Capaian pertumbuhan ekonomi selama ini pun dianggap kurang bermakna. Hal itu terungkap dalam diskusi ketimpangan ekonomi yang merupakan bagian dari kegiatan “Peningkatan Peran Perguruan TInggi Dalam Pembinaan dan Edukasi ke Masyarakat di Bidang Ilmi Ekonomi Melalui Kolaborasi dengan Komunitas Netizen Yogyakarta”, pada Minggu (23/10/2016).
Dalam kesempatan tersebut peneliti pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Abraham Wirotomo, memaparkan pandangan dan hasil kajiannya terhadap sejumlah permasalahan menyangkut ketimpangan di Indonesia. “Ada ketimpangan yang terlalu mencolok antara yang kaya dengan yang miskin di Indonesia”, tegasnya.
Hal itu bisa dilihat dari angka gini yang memuat kesenjangan pendapatan antar penduduk di Indonesia. Selama periode 2006 hingga 2013 nilai gini terus meningkat hingga menyentuh angka 0,41. Semakin mendekati nilai 1 berarti ketimpangan atau kesenjangan semakin lebar. Kondisi tersebut banyak terjadi di daerah Indonesia timur.
Menariknya, persepsi orang Indonesia terhadap ketimpangan ekonomi ternyata tidak seragam. Sebagian penduduk tidak mempermasalahkan ketimpangan karena hal itu diperoleh dari hasil kerja keras. Sementara sebagian lagi menganggap ketimpangan sebagai ketidakadilan. Mereka yang memiliki pandangan demikian biasanya memiliki pengalaman sebagai “korban” kemajuan yang terjadi di daerah tempat tinggalnya. Misalnya masyarakat yang terpinggirkan di sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit.
Catatan penting lainnya, penduduk miskin di Indonesia seringkali tidak menyadari kemiskinan itu sendiri. Meskipun pada saat yang sama ada banyak penduduk yang mengalami kecemasan sosial dan mempersepsikan kemiskinan dalam kehidupannya.
Menurut Abraham ketimpangan yang lebar di Indonesia saat ini tidak lepas dari pembangunan sentralistik yang berlangsung selama puluhan tahun di masa orde baru. Pengerahan sumber daya dan dana untuk Jawa telah menimbulkan ketidakadilan pemenuhan kebutuhan hidup banyak penduduk Indonesia yang tinggal di luar Jawa, terutama di Indonesia timur. Hal itu diperparah dengan capaian pemerintah yang tidak terlalu mengesankan dalam menanggulangi ketimpangan. Sejumlah kebijakan termasuk melalui bantuan tunai tidak sepenuhnya menjangkau daerah tertinggal dan terpencil. Akibatnya ketimpangan di negera ini semakin langgeng.
Ancaman Disintegrasi
Dengan melihat kondisi ketimpangan yang ada, Indonesia tentu harus bekerja keras. Tidak sekadar mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, tapi juga meningkatkan kepedulian terhadap pembangunan yang lebih adil. Niat dan upaya pemerintahan Jokowi-JK yang mulai menyentuh daerah-daerah di luar Jawa patut diapresiasi. Akan tetapi, hal itu masih perlu dibuktikan melalui capaian pembangunan yang inklusif dan berkesinambungan.
Selain itu, Abraham menyoroti dukungan politik dan kesungguhan pelaku usaha yang belum maksimal berpihak pada pembangunan di luar Jawa. Kemudahan membangun usaha di Jawa terlanjur membuat nyaman para pemilik modal. Jika tidak segera berubah, upaya pemerataan yang digagas Presiden Jokowi akan sulit tercapai.
Apalagi, ditambah kebijakan yang cenderung berpihak pada kelompok menengah ke atas seperti Tax Amnesty. Kebijakan ini dianggap menyisakan ketidakadilan bagi masyarakat yang setiap hari dikenakan pajak atas barang-barang konsumsi maupun pajak lainnya yang dibayarkan sesuai ketentuan. Sementara pada saat yang sama para pengemplang pajak besar justru diampuni.
Contoh lainnya adalah BPJS Kesehatan yang diam-diam menimbulkan celah ketidakadilan baru di Indonesia. Penduduk di Indonesia timur tetap membayar iuran tapi klaim dan fasilitas kesehatan yang diterima minim. Sementara di Jawa klaim BPJS justru lebih tinggi dibanding iurannya. “Iuran yang dibayar oleh penduduk di Indonesia timur digunakan untuk menutupi defisit di Jawa. Ini kan tidak adil”, kata Abraham. Namun, ia sepakat bahwa jaminan sosial tetap dibutuhkan sehingga sistem BPJS Kesehatan perlu dimodifikasi agar lebih adil bagi penduduk di luar Jawa.
Selanjutnya, mengingkat kompleksitas masalah yang ada, mengatasi ketimpangan tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah. Peran dan kesadaran masyarakat juga mutlak dibutuhkan. Sangat penting untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat, terutama yang selama ini telah menikmati gemerlap pembangunan di Jawa, agar mau berbagi dengan saudara sebangsa yang masih bernestapa.
Mengatasi ketimpangan yang membelenggu Indonesia harus menjadi ikhtiar besar bersama. Hanya dengan cara demikian integrasi nasional dapat terjaga. “Jika ketimpangan ini dibiarkan Indonesia bisa pecah dan tercerai berai pada 3015”, tegas Abraham memprediksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H