[caption caption="Amin, mantan buruh angkut batu yang kini bekerja sebagai pengumpul sampah di Bank Sampah Lakmus, Sumbawa Barat."][/caption]
Pertambangan adalah sektor yang menghidupkan. Meski isu lingkungan tak henti melahirkan perdebatan, namun di sisi lain pertambangan telah meniupkan gairah dan harapan. Tumbuhnya lapangan kerja, pembangunan insfrastruktur, peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, hingga kemajuan sebuah daerah, tercipta berkat kegiatan pertambangan.
Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat, NTB. Kegiatan eksplorasi PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) yang diikuti dengan operasional sejak tahun 2000, telah mendatangkan kemajuan bagi daerah dan masyarakat. Tempat yang sebelumnya terisolir dan hanya bisa dijangkau dengan berkuda, kini berkembang dengan jalanan aspal, deretan toko, serta rumah-rumah dengan listrik yang mengalir 24 jam. Penghasilan masyarakat yang dahulu berbilang rendah atau menengah, seketika meningkat. Lapangan-lapangan kerja lain yang menopang kegiatan pertambangan juga terbuka.
Akan tetapi, angin perubahan yang bertiup dari area tambang juga menyebabkan masalah baru. Lompatan kehidupan yang terjadi diikuti rasa ketergantungan pada sektor pertambangan. Saat PTNNT berhenti berproduksi sejenak di tahun 2014, ekonomi mendadak lumpuh dan layu. Tak hanya ekonomi yang menjadi sangat tergantung, gaya hidup dan pola pikir masyarakat lingkar tambang juga berubah seiring limpahan rupiah dan hadiah dari tambang.
Semakin lama harapan dan ketergantungan tersebut semakin besar. Jika tak segera diatasi, daerah dan masyarakat lingkar tambang akan kembali terhempas ke titik nadir ketika kegiatan pertambangan berakhir. Oleh karena itu sejak beberapa tahun terakhir, PTNNT giat mendorong program CSR bidang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (Community development).
[caption caption="Pembuatan coconet dari serabut kelapa di Maluk, Sumbawa Barat. Usaha ini merupakan bagian dari pengembangan dan pemberdayaan masyarakat lingkar tambang PTNNT."]
[caption caption="Usaha pembauat coconet telah membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat lingkar tambang."]
Berbagai usaha dirintis dengan melibatkan sejumlah komunitas, LSM dan yayasan yang memiliki kepedulian sama terhadap daerah lingkar tambang. Masyarakat perlahan diarahkan untuk berdaya dengan mengembangkan potensi lain di luar kegiatan pertambangan. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan oleh Ibu Ani di pembuatan coconet binaan PT. Ridho Bersama yang merupakan sentra pemberdayaan masyarakat rintisan PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT).
Di dalam bangunan sederhana berdinding anyaman bambu, Ibu Ani terus menguntai serabut kelapa yang semakin memanjang. Sepanjang itu pula kedua tangannya sibuk bekerja memegang untaian yang terbentuk dan mengambil serabut kelapa dari kantung yang digendongnya. Setelah mencapai panjang tertentu ia berhenti untuk melepas untaian yang sudah menjadi tali. Setelah itu kembali menguntai serabut kelapa hingga satu demi satu tali dihasilkan. Tali-tali itu selanjutnya disusun satu sama lain hingga membentuk jaring yang disebut coconet.
Ibu Ani tidak melakukannya sendirian. Ada puluhan orang lainnya yang menguntai serabut kelapa hingga membentuk jaring. Sejak dirintis lebih dari 3 tahun lalu, usaha pembuatan coconet mampu menyerap 52 pekerja. Mereka terbagi menjadi 2 grup yang bekerja bergantian dalam 2 shift. Para pekerja umumnya adalah kaum ibu rumah tangga yang berasal dari Maluk. Sebelum membuat coconet, mereka lebih dulu mendapatkan pelatihan selama 3 hari.
[caption caption="Mengayam coconet."]
[caption caption="Gulungan coconet yang siap digunakan, salah satunya untuk keperluan reklamasi di PTNNT."]
Adanya usaha coconet cukup dirasakan manfaatnya oleh para pekerja. Ibu Ani yang sejak 2003 menetap di Maluk baru setahun membuat coconet. Tapi penghasilan yang ia terima saat ini lebih baik dibanding saat masih menjadi buruh cuci. Hal serupa diakui oleh Ibu Sumarni. Ia bahkan sudah mulai membuat coconet sejak usaha ini baru didirikan. Bekerja di shift pagi, Ibu Sumarni bisa mengumpulkan Rp. 50.000-60.000 perhari. Para pekerja seperti Ibu Ani dan Ibu Sumarni menerima upah setiap bulan dengan jumlah yang dihitung berdasarkan produktivitas masing-masing. Setiap hari para pekerja mampu menghasilkan 25 jaring coconet. Rata-rata penghasilan yang diterima mereka antara 1,5-3 juta per bulan.
Awalnya untuk membuat coconet, usaha ini harus mendatangkan bahan baku serabut kelapa dari Yogyakarta. Namun kini bahan baku tersebut sudah bisa diperoleh dari Lombok Utara. Sebagian produk yang dihasilkan digunakan sebagai penyangga tanah dalam kegiatan reklamasi yang dilakukan PTNNT.
Masih berada di Maluk, ada tempat bernama Bank Sampah Lakmus (BSL) yang didirikan pada 12 Desember 2012. Tempat ini cukup unik karena menjadikan sampah sebagai inti usahanya. Berkembangnya daerah lingkar tambang diikuti dengan jumlah sampah yang dihasilkan masyarakatnya. Di sisi lain banyak jenis sampah yang layak dimanfaatkan kembali sehingga bisa mengurangi resiko pencemaran lingkungan sekaligus mendatangkan rupiah.Atas dasar itulah BSL mengajak masyarakat lingkar tambang untuk menangani dan mengumpulkan sampah-sampah yang masih bernilai ekonomi.
[caption caption="Sampah-sampah tiba di Bank Sampah Lakmus."]
[caption caption="Sampah kertas kiriman "nasabah" yang telah ditimbang di Bank Sampah Lakmus."]
Ada sekitar 710 “nasabah” dari sekitar lingkar tambang yang saat ini bergabung dan rutin mengumpulkan sampah ke bank ini. Sampah tersebut dipilih dan dipilah menurut jenisnya, seperti plastik, kertas, serta logam. Sampah yang terkumpul kemudian dihitung nilainya sebagai saldo tabungan milik nasabah.
Berton-ton sampah mampu dikumpulkan oleh BSL setiap bulan. Untuk mengajak lebih banyak masyarakat agar mau menangangi dan mengumpulkan sampah, sosialisasi dan edukasi secara aktif dilakukan melalui kegiatan posyandu dan PKK. Selain itu BSL juga mendatangi sekolah-sekolah untuk menanamkan kesadaran menangangi sampah kepada anak sejak dini.
Tidak hanya mendatangkan penghasilan tambahan bagi para nasabah, keberadaan Bank Sampah Lakmus juga menawarkan pilihan yang lebih baik bagi 5 orang pekerjanya. Salah satunya adalah Amin, pemuda asal Jereweh ini sudah bekerja selama 1,5 tahun di BSL. Setiap hari mulai jam 8 pagi dengan menggunakan sepeda motor ia berkeliling mengumpulkan sampah dari rumah nasabah. Jika dibandingkan pekerjaan sebelumnya sebagai buruh angkut batu, ia mengaku saat ini jauh lebih baik. Selain karena penghasilannya, bekerja “menjemput” sampah juga tidak terlalu berat.
[caption caption="Usaha produksi Virgin Coconut Oil yang belum lama dirintis di Jereweh, Sumbawa Barat."]
[caption caption="Pantai di Kertasari yang menjadi tempat pembudidayaan rumput laut."]
Bergeser ke Jereweh, sebuah usaha pembuatan minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil (VCO) baru saja dirintis dengan melibatkan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ocean Fresh, dan PTNNT. Meski masih berskala rumahan, usaha ini sudah mampu memproduksi 26 liter VCO per minggu. Dibutuhkan sekitar 30 butir kelapa untuk menghasilkan 1 liter VCO. Bahan baku kelapa yang digunakan didatangkan dari daerah sekitar. Dengan nilai jual Rp. 60.000 per liter, produk VCO yang dihasilkan digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan kosmetik.
Geliat usaha tak hanya coba dihidupkan di lingkar tambang. Di daerah penyangga seperti Kertasari, kecamatan Taliwang, masyarakat telah lebih dulu mencoba berkembang dengan rumput laut. Bahkan, Kertasari menjadi bagian percontohan minapolitan berbasis rumput laut. Hampir semua penduduk di kampung Kertasari menjadi petani rumput laut. Berada di pesisir perairan yang berarus tenang, pantai di Kertasari memang ideal untuk budidaya rumput laut. Dalam sebulan, seorang petani rumput laut di Kertasari mampu memanen 100-200 kg rumput laut tergantung luasan yang ditanami. Dengan angka sebanyak itu, puluhan ton rumput laut dengan nilai ratusan juta rupiah berpotensi dihasilkan dari Kertasari.
[caption caption="Pak Ruslih, seorang petani rumput laut sedang mengeringkan hasil panennya di Pantai Kertasari."]
Usaha pembuatan coconet, produksi VCO, Bank Sampah Lakmus, dan pemberdayaan petani rumput laut adalah contoh upaya pengembangan masyarakat yang disokong oleh PTNNT. Program lainnya yang telah dirintis antara lain pengembangan hutan wisata pendidikan di Lawar serta pemberdayaan petani melalui kebun bibit Comdev. Semua program tersebut bertujuan menciptakan kesejahteraan dengan jalan meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat. Dengan prinsip keberlanjutan, keterpaduan, dan partisipatif, semangat kemandirian masyarakat lingkar tambang coba dikembangkan.
[caption caption="Memanen rumput laut segar dari pantai."]
Selanjutnya keterlibatan pemerintah daerah untuk lebih aktif menyambut inisiatif yang mulai berkembang di masyarakat sangat dinanti. Peran pemerintah daerah mutlak diperlukan, terutama untuk mengatasi persoalan yang masih muncul dan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada PTNNT. Misalnya, mempromosikan coconet demi memperluas pasar agar ketika kegiatan reklamasi PTNNT telah selesai produk coconet tidak kehilangan konsumen. Upaya pengendalian harga dan kualitas rumput laut juga perlu dilakukan karena saat ini petani rumput laut sering tidak berdaya saat harga hasil panen turun menjadi sangat murah. Akibatnya, para petani hanya menikmati selisih keuntungan yang sangat kecil sehingga kurang sebanding dengan biaya perawatan dan produksi. Model penanganan sampah melalui Bank Sampah Lakmus juga perlu diadopsi dengan skala lebih besar oleh pemerintah daerah. Bukan semata-mata untuk meningkatkan keuntungan, tapi bank sampah bisa menjadi upaya jitu untuk menjaga lingkungan.
Jalan pasca tambang kini sedang direnda. Sumbawa Barat dan masyarakatnya, terutama yang ada di lingkar tambang layak mendapatkan masa depannya tanpa ada sisa cemas ditinggal tambang.
*semua foto adalah dokumentasi pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H