[caption caption="Malioboro "Teman Bermain" Masa Kecil Kami (dok. pribadi)."][/caption]
Malioboro, sebuah nama yang sangat melekat tidak hanya di ingatan, tapi juga di hati banyak orang. Bukan saja dikenal oleh penduduk Yogyakarta, tapi juga dikenang oleh siapapun yang pernah menapakkan kakinya di sana.
Sejarah tempat ini telah dimulai sejak lebih dari dua abad lampau. Malioboro merupakan simpul dari pusat pemerintahan dan ekonomi Keraton Yogyakarta yang kemudian berkembang seiring lahirnya provinsi DIY.
Jutaan detik berlalu, detak jantung Malioboro tetap kencang. Ia menjadi landmark terbesar di Yogyakarta sekaligus episentrum wisata, budaya, ekonomi dan pemerintahan. Walau telah banyak berubah, ia tak pernah hampa cerita. Malioboro senantiasa menuturkan kisah-kisah kehidupan yang pantas untuk direnungkan.
[caption caption="Malioboro Sebuah Panggung Seni (dok. pribadi)."]
Ruang publik Malioboro lebih dari sekadar tempat berinteraksi. Namun, juga tempat berkreasi dan berekspresi. Di tengah keterdesakan ruang yang tak lagi luang, Malioboro masih menjadi panggung bagi individu-individu pemilik hasrat seni yang meluap-luap. Di Malioboro mereka mencuri perhatian dengan cara yang mengagumkan. Orang-orang kreatif ini menggambar dan melukis dengan penuh keyakinan di tengah keramaian manusia dan raungan kendaraan. Keberadaan orang-orang kreatif membuat Malioboro tetap istimewa meski kenyamanannya telah berkurang di makan zaman.
Malioboro adalah tempat para pencari rezeki. Bukan hanya bagi pengayuh becak, kusir andong serta ratusan pedagang kaki lima yang berderet menyesaki jalanannya. Namun, juga bagi puluhan orang yang setiap hari menggantungkan hidupnya dengan berjualan seadanya. Mereka hilir mudik menyeberang dari satu sisi jalan ke sisi lainnya, menghampiri satu demi satu wisatawan dan pengunjung Malioboro. Banyak di antara mereka adalah anak-anak muda dan remaja. Bahkan tak jarang adalah anak kecil. Tak banyak yang didapat dari berjualan minuman dalam gelas plastik tersebut karena mereka umumnya hanya membantu menjajakannya saja. Apalagi, mereka yang berjualan di depan Istana Negara Gedung Agung dan Benteng Vredeburg adalah pedagang liar yang kerap dikejar-kejar petugas Satpol PP. Meskipun demikian mereka tak berhenti mengejar rezeki. Di bawah pohon atau di sudut trotoar mereka beristirahat saat merasa lelah. Namun tak lama mereka kembali berjalan dan terus menawarkan minumannya. Ada pengharapan yang besar terdengar dari suara mereka ketika meneriakkan: “es teh nya dua ribu, es jeruknya juga ada!”.
Malioboro juga menjadi tempat orang-orang penuh dedikasi menjalankan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Tak banyak tempat sampah di Malioboro. Namun selalu ada mereka yang dengan sapu di tangannya menyisir setiap jengkal Malioboro, memindahkan satu demi satu sampah yang berserakan ke gerobak sampah. Petugas kebersihan adalah orang yang paling berjasa di Malioboro. Mereka bisa saja tegas memarahi orang-orang yang sembarangan membuang sampah di Malioboro. Akan tetapi mereka tak melakukan hal itu. Kesabaran dan ketulusan mereka dalam bekerja mengalahkan para pengamen yang suka memaksa memungut bayaran.