Kapasitas dan kualitas demokrasi deliberatif kompasianer belum baik sehingga perlu ditingkatkan. Itulah kesimpulan thesis A. Ranggabumi Nuswantoro yang ditujukan pada Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Melalui penelitian berjudul “Kelas Menengah & Kondisi Deliberatif, Pertukaran Informasi Kompasianer Pada Masa Kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pemenuhannya Terhadap Kondisi Deliberatif” yang disusun tahun 2014, Nuswantoro melakukan penilaian dan analisis isi terhadap 106 tulisan di Kompasiana yang terbit 24 Juni -7 Juli 2012 dan 14-16 September 2012, khususnya yang bertema politik dalam rangka kampanye Pilkada DKI Jakarta.
Obyek penelitian ini adalah Kompasiana, Kompasianer dan Kampanye Pilkada DKI 2012 khususnya yang melalui media sosial. Kompasiana dipilih karena merupakan media warga yang memberikan kebebasan kepada setiap warga dengan beragam latar belakang untuk menuliskan kejadian di sekitarnya, mengungkapkan gagasan, serta memberikan pendapat dan tanggapan. Dengan demikian Kompasiana diharapkan tidak hanya mempercepat arus informasi tapi juga bisa memperkuat pondasi demokrasi dengan memberikan informasi-informasi yang berkualitas.
Kompasianer dianggap mewakili kelas menengah karena memiliki pengetahuan dan pendidikan yang baik, akses informasi yang luas, kritis dan “melek politik”. Selain itu beragam profesi kompasianer termasuk ke dalam kelas menengah. Kompasianer yang berdomisili di Jakarta dan menulis atau berkomentar tentang Pilkada DKI Jakarta dianggap mencerminan aspirasi politiknya.
Sementara itu Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dianggap sebagai tonggak besar peran media sosial dalam kampanye pemilihan kepala daerah. Gencarnya kampanye Pilkada DKI Jakarta disertai dengan masifnya perbincangan di media sosial termasuk di Kompasiana. Sebagai pesta demokrasi terbesar kedua setelah Pilpres, Pilkada DKI Jakarta juga menjadi etalase untuk melihat sejauh mana praktik demokrasi di masyarakat modern dan bagaimana kualitasnya.
Demokrasi deliberatif menjadi ruang lingkup penelitian ini sebagai koreksi dari demokrasi yang saat ini kebablasan dan cenderung liberal. Dalam demokrasi deliberatif perbedaan pendapat dimaknai untuk memperkaya wawasan, bukan memperkuat pertentangan. Pemikiran deliberatif mendorong koreksi dilakukan melalui kritikan, bukan cacian. Konsep deliberatif mendorong diskusi dan dialog yang fokus pada subtansi sebagai sarana mendapatkan solusi untuk kepentingan bersama, bukan medan “debat kusir” atau kalah-menang. Gagasan deliberatif mengembalikan demokrasi ke akarnya yaitu saling menghargai.
Penelitian ini tidak hanya mengkaji informasi politik yang dipertukarkan di Kompasiana selama masa kampanye Pilkada DKI 2012 dan bagaimana pertukaran itu terjadi. Tetapi juga berdasarkan kualitas perbincangan dan komentar yang menyertai tulisan-tulisan tersebut. Ada 5 indikator deliberatif utama yang menjadi unit analisis untuk menarik kesimpulan, yaitu:
- Information, keakuratan Informasi yaitu sejauh mana tulisan-tulisan yang dikaji disertai data yang akurat, sesuai undang-undang dan fakta. Sejauh mana informasi yang disampaikan detail dan relevan.
- Subtansive balance, sejauh mana argumentasi dari sebuah sudut pandang ditanggapi oleh kompasianer lain dengan sudut pandang yang berbeda melalui dialog/diskusi.
- Diversity, sejauh mana kompasianer merepresentasikan pilihannya dalam “diskusi” kampanye Pilkada DKI 2012.
- Conscientiousnessm sejauh mana kompasianer menilai manfaat dari argumen-argumen yang muncul dalam diskusi tulisan-tulisan tersebut.
- Equal consideration, sejauh mana informasi atau tulisan ditanggapi satu sama lain.
Selanjutnya melalui analisis kualitatif diungkap makna dari setiap tulisan. Dengan menyertakan analisis perilaku pertukaran informasi melalui tulisan dan perbincangan/dialog/komentar, semua aspek di atas digunakan untuk menilai kualitas demokrasi dari tulisan-tulisan di Kompasiana yang dimaksud.
Hasilnya, menurut Nuswantoro kualitas demokrasi kelas menengah yang direpresentasikan kompasianer belum baik. Masih sedikit tulisan-tulisan dan komentar yang memenuhi indikator deliberatif. Kualitas percakapan kompasianer terkait kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 masuk kategori rendah karena rata-rata setiap tulisan hanya memenuhi 2-3 indikator deliberatif. Menurut Nuswantoro terdapat 63 tulisan yang memuat indikator information, 35 tulisan memuat indikator subtansive balance, 33 tulisan memuat indikator diversity, 27 tulisan memuat indikator conscientiousness, dan 49 tulisan memuat indikator equal consideration.
Lebih jauh Nuswantoro menyatakan untuk meningkatkan kapasitas berdemokrasi para kompasianer, peran aktif admin sangat diperlukan. Keterbatasan SDM tidak boleh menjadi halangan bagi Kompasiana untuk mengontrol diskusi dan tulisan. Nuswantoro juga menekankan perlunya menambah intensitas kegiatan offline yang mampu menambah pengetahuan demokrasi bagi kompasianer dengan menghadirkan narasumber di bidang sosial politik. Untuk mengetahui kondisi kualitas demokrasi deliberatif terkini penelitian serupa dengan obyek Pemilu Presiden 2014 perlu dilakukan, termasuk dengan membandingkan percakapan dan pertukaran informasi antara Kompasiana yang terafiliasi dengan Kompas dan Indonesiana yang terafiliasi dengan Tempo.