Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Merindukan Rangin alias Gandos

14 Mei 2015   09:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu pagi, 10 Mei 2015 kemarin saya memutuskan untuk keluar mengayuh sepeda. Biasanya jalan-jalan santai menjadi pilihan saya untuk berolahraga pagi di akhir pekan. Tapi kali ini saya ingin merasakan lagi sensasi mengayuh si roda dua sejauh belasan kilometer. Jadilah pagi itu saya bersepeda hingga 13 km selama kurang lebih 1 jam. Lumayan berkeringat meski belum terasa sangat melelahkan.

Seperti yang lazim dilakukan seusai olahraga pagi, jajan di pinggir jalan atau di pusat keramaian seperti GOR dan pasar kaget selalu menjadi pilihan. Pagi itu penjual makanan berjajar di antara para penjual baju dan aksesoris pakaian. Masyarakat yang usai berolahraga pun terlihat ramai. Sebagian memilih duduk-duduk di trotoar yang teduh sambil meluruskan kaki. Tapi banyakjuga yang mengambil posisi nikmat sambil menyantap sarapan pagi. Penjual pecel, sate ayam dan soto terlihat paling laris.

[caption id="attachment_365812" align="aligncenter" width="579" caption="Rangin alias Gandos alias Bandros alias Kue Pancong sedang dipanggang di dalam cetakan."][/caption]

Tapi saya tak tertarik untuk mengisi perut dengan pecel atau sate pagi itu. Mata saya sudah lebih dulu terpikat oleh sebuah gerobak sederhana yang terlihat ramai. Dari kejauhan terlihat penjualnya tak henti menuangkan sesuatu ke dalam cetakan di atas gerobak. Sementara beberapa remaja terlihat silih berganti menghampirinya. Dari sebuah etalase kecil di atas gerobak terlihat wujud jajanan yang seketika membuat saya bersemangat untuk mendekat. Seketika itu saya melihat rangin.

Rangin adalah jajanan berupa kue tradisional yang menjadi teman setia masa kecil saya dan tentu saja banyak orang lainnya. Dahulu rangin memang populer dan menjadi jajanan kesukaan banyak orang terutama anak-anak. Penjual rangin pun mudah dijumpai di sekolah-sekolah, alun-alun dan juga berkeliling kampung.

Namun saat ini menemukan penjual rangin bagaikan sebuah keberuntungan. Tak banyak lagi penjual rangin yang bisa dijumpai di pinggir jalan apalagi berkeliling kampung. Kecuali saat sedang diadakan pameran jajanan tradisional, kita perlu blusukan ke pasar tradisional atau tempat-tempat pinggiran untuk berharap bisa menemukan penjual rangin.

[caption id="attachment_365814" align="aligncenter" width="551" caption="Pembeli sedang menunggu Rangin buatan Pak Ngatno, perantau asal Pekalongan yang sudah 2 tahun menjajakan Rangin."]

1431570881725324143
1431570881725324143
[/caption]

Sekitar 2 tahun lalu saya menemukan rangin menjadi menu di sebuah cafe. Rasa rindu setelah lama tidak menikmatinya membuat saya memesan satu porsi yang saat itu dihargai Rp. 8000. Tak lama 5 buah rangin di atas sebuah piring tiba di meja saya. Di atasnya terlihat taburan gula pasir dan sedikit coklat meses. Namun setelah mencicipinya saya kecewa dengan rangin ini. Selain sudah dingin, rasanya juga masih kalah dengan rangin tradisional yang dijajakan di pinggir jalan.

Rangin yang dijajakan berkeliling atau di pinggir jalan memang lebih otentik dan selalu lebih nikmati dibanding rangin yang telah mendapat sentuhan café atau restoran. Dan perjumpaan saya dengan penjual rangin tradisional minggu pagi itu menjadi pelipur rindu setelah terakhir kali saya menikmati rangin sekitar 3 tahun yang lalu.

Adalah Pak Ngatno, laki-laki asal Pekalongan, Jawa Tengah yang menjajakan rangin dengan gerobak pagi itu. Kepada saya ia menuturkan baru 2 tahun berjualan rangin. Sebelumnya ia adalah seorang buruh rokok. Ketika usaha rokok tempatnya bekerja memutuskan mengurangi karyawan, Pak Ngatno harus menerima kenyataan menjadi salah satuorang yang kehilangan pekerjaannya. Ia lalu memutuskan merantau beberapa ratus kilometer meninggalkan keluarganya dan memilih menjadi penjual rangin.

[caption id="attachment_365815" align="aligncenter" width="445" caption="Pak Ngatno sedang memeriksa kematangan Rangin buatannya."]

1431570976690328007
1431570976690328007
[/caption]

Ketika saya mengatakan kalau di Yogyakarta rangin disebut gandos, Pak Ngatno lalu menyebutkan nama lain yaitu bandros. Rupanya di Pekalongan rangin dikenal dengan nama bandros. Sebelumnya saya hanya tahu jika rangin atau gandos memiliki nama alias di Jakarta yaitu kue pancong.

Sungguh menarik, jajanan tradisional ini ternyata dikenal di banyak daerah dengan namanya masing-masing. Lebih menarik lagi karena nama-nama itu digunakan secara overlap di beberapa daerah di Jawa. Di sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakat mengenalnya dengan rangin. Tapi beberapa daerah di Jawa Tengah juga mengenalnya sebagai bandros seperti yang lazim dikenal masyarakat Jawa Barat. Sementara itu daerah di Jawa Tengah bagian utara seperti Jepara menyebutnya dengan gandos, sama dengan masyarakat di Yogyakarta. Hal itu membuktikan bahwa rangin alias gandos alias bandros alias kue pancong disukai banyak orang.

Melihat Pak Ngatno menyiapkan rangin pesanan saya dan juga pesanan beberapa pembeli lainnya yang mengantri, ingatan saya terlempar jauh ke belakang. Cara membuatnya ternyata tak berubah dengan apa yang dulu sering saya lihat dari penjual rangin di depan gerbang sekolah, juga penjual keliling yang lewat di depan rumah.

[caption id="attachment_365816" align="aligncenter" width="588" caption="Adonan Rangin dituang ke dalam cetakan panas yang telah diolesi margarin."]

1431571026593434799
1431571026593434799
[/caption]

[caption id="attachment_365817" align="aligncenter" width="550" caption="Cetakan ditutup agar Rangin cepat matang."]

14315710821434693191
14315710821434693191
[/caption]

Rangin dibuat dengan cara yang mudah dan juga dari bahan-bahan yang sederhana. Adonan rangin terdiri dari tepung beras, parutan kelapa yang sudah ditanak, santan serta tambahan sedikit gula pasir dan garam. Adonan tersebut dituang ke dalam loyang dengan banyak lubang cetakan yang cekung berbentuk setengah lingkaran. Cetakan ini identik dengan cetakan untuk membuat kue pukis. Sebelumnya cetakan dibiarkan panas dan diolesi dengan margarin. Dengan panas api yang sedang, rangin segera siap dalam waktu tak lebih dari 5 menit.

[caption id="attachment_365818" align="aligncenter" width="423" caption="Rangin yang sudah matang dilepaskan dari cetakan menggunakan pisau."]

1431571122623535659
1431571122623535659
[/caption]

Rangin yang sudah matang memiliki kulit dengan jejak gosong berwarna kuning kecoklatan. Sementara bagian dalamnya lembek dan akan sedikit memadat ketika dingin. Rangin disajikan dengan taburan gula pasir di atasnya. Dinikmati selagi hangat, rangin terasa sangat nikmat. Teksturnya lembut dengan semburat kelapa parut yang gurih. Taburan gula pasirnya memberikan rasa manis yang pas di lidah.

[caption id="attachment_365819" align="aligncenter" width="422" caption="Rangin buatan Pak Ngatno dengan taburan gula pasir. Dengan Rp. 5000 saya mendatapkan 13 buah Rangin."]

1431571187587769207
1431571187587769207
[/caption]

Pagi itu rasa rindu saya kepada rangin terobati. Saya membeli Rp. 5000 dan Pak Ngatno memberikan 13 ranginyang masih panas. Harga yang sangat murah meski saya tidak mengerti bagaimana Pak Ngatno menghitung harga satuannya jika Rp. 5000 sama dengan 13 rangin. Saya tak menanyakan akan hal itu karena terlanjur asyik menikmatinya rangin buatannya.

[caption id="attachment_365820" align="aligncenter" width="588" caption="Rangin alias Gandos alias Bandros alias Kue Pancong, jajanan tradisional yang kenikmatannya dan kenangannya selalu dirindukan."]

14315712711943449361
14315712711943449361
[/caption]

Masih ada sisa rangin belum termakan dan saya membawanya pulang dengan mengikatkan plastik pembungkusnya di stang sepeda. Ketika sampai rangin itu sudah dingin. Tapi saya tetap menyantapnya dengan hati. Rindu saya pada rangin ternyata belum benar-benar terobati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun