Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Potret & Realita dalam Kereta Komuter Jogja-Solo

17 Desember 2013   12:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:50 1901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengalaman pertama naik kereta api pada Desember 2012 silam telah membuat saya jatuh hati kepada moda transportasi ini. Bagi saya kereta api bukan hanya gerbong besi yang melaju di atas rel. Kereta api adalah sebuah dunia kecil yang bergerak dinamis seperti potret-potret kehidupan yang tersaji di dalamnya. Itulah kesan yang membekas pada saat menaiki kereta api ekonomi jarak jauh tujuan Jogjakarta-Jakarta pulang pergi setahun kemarin. Semenjak hari itu keinginan untuk kembali naik kereta api selalu ada.

Kesempatan kedua naik kereta api akhirnya datang tahun ini. Kereta komuter relasi Jogja-Solo menjadi pilihan. Agak berbeda dengan commuter line atau KRL Jabodetabek, kereta komuter Jogja-Solo terdiri dari 3 rangkaian kereta yakni Prambanan Ekspres (Prameks), Sriwedari (AC dan non AC) dan Madiun Jaya (Manja). Beberapa di antara kereta tersebut tidak hanya melayani rute Jogja-Solo pulang pergi tapi ada juga yang menjangkau stasiun Kutoarjo di Jawa Tengah. Sementara Madiun Jaya melayani jarak yang lebih jauh hingga Madiun di Jawa Timur.

Terbayang sudah asyiknya naik kereta untuk kedua kalinya, pagi itu saya bergegas menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Kereta Prameks menjadi incaran. Apalagi sejumlah teman sejak lama merekomendasikan kereta ini untuk saya naiki jika ingin merasakan perjalanan komuter Jogja-Solo.

Setibanya di loket saya harus gigit jari, tak ada jadwal Prameks jam 7 dan ke atasnya. Prameks sudah berangkat pukul 6 dan selanjutnya relasi Jogja-Solo diisi oleh kereta Sriwedari. Saya agak terkejut. Tapi lalu teringat cerita sejumlah teman pelanggan kereta tentang kekurangan dari kereta komuter Jogja-Solo.

Jumlah jadwal keberangkatan Prameks banyak dikurangi beberapa tahun terakhir. Padahal tarifnya yang murah membuatnya banyak dibutuhkan oleh para kaum komuter Jogja-Solo dan sebaliknya. Sebagai penggantinya jadwal-jadwal tersebut diisi oleh kereta Sriwedari dan Madiun Jaya. Sayangnya perubahan itu tidak dibarengi dengan kepastian jadwal. Sudah sering kaum komuter Jogja-Solo mengeluhkan jadwal kereta Prameks dan Sriwedari yang kerap berubah. Oleh sebab itu tips jika ingin bepergian menggunakan kereta Prameks atau Sriwedari adalah rajin memeriksa jadwal pemberangkatannya. Perubahan jadwal seringkali hanya dipasang di stasiun pada hari pemberangkatan.

13872573221650340732
13872573221650340732

Terlelap. Penumpang kereta komuter Sriwedari Jogja-Solo mengisi waktu dengan merenda mimpi lewat tidurnya sambil menanti kereta berangkat.

13872578551060042962
13872578551060042962
Menunggu memang kesal juga.

Gagal menaiki Prameks sayapun membeli tiket kereta komuter Jogja-Solo lainnya yakni Sriwedari non AC. Bagian luar gerbong berwarna pink bercampur ungu. Interiornya seperti kereta api kelas ekonomi jarak jauh dengan kursi yang tertata berhadapan. Di setiap gerbong terpasang beberapa kipas angin.

Saya segera naik ke dalam kereta yang sudah terparkir di peron. Pagi itu gerbong sudah ramai, beberapa penumpang sudah menempati sejumlah kursi. Sementara sejumlah petugas menaikkan paket terbungkus kertas warna coklat ke dalam gerbong. Mungkin paket logistik untuk stasiun tujuan.

Sambil menunggu kereta berangkat sejumlah penumpang membunuh waktu dengan beragam aktivitas seperti tidur dan membaca koran. Ada juga yang hanya memandangi kaca jendela seperti sedang memikirkan sesuatu. Pemandangan seperti inilah yang membuat saya jatuh hati pada kereta api. Melihat aktivitas manusia di dalam gerbong seperti menyaksikan sebuah realita yang tak ada habisnya. Sayapun semakin tak sabar menanti keberangkatan karena biasanya gerbong kereta akan lebih banyak menyuguhkan realita setelah berjalan dan menyinggahi sejumlah stasiun.

Pukul 08.00 Kereta Sriwedari bergerak meninggalkan stasiun Tugu Yogyakarta. Roda-roda besinya mulai berputar melintasi rel menuju Solo. Bukan bunyi “jug gijag gijug gijag gijug” yang terdengar ketika kereta ini bergerak. Tak seperti bunyi kereta api jarak jauh yang ditarik lokomotif utama di depan, bunyi kereta komuter ini seperti mobil yang digas.

1387257489173210369
1387257489173210369

Berhenti menjemput penumpang.

Tak banyak stasiun yang disinggahi selama perjalanan Jogja-Solo. Setelah meninggalkan kota Jogja, kereta menjemput penumpang di bandara Adi Sucipto. Saat itulah kereta menjadi lebih penuh. Sejumlah penumpang menghambur ke dalam gerbong. Mereka berusaha menemukan tempat duduk. Tak dapat tempat di satu gerbong merekapun beralih ke gerbong lain.

13872576121447127400
13872576121447127400

Penumpang-penumpang baru memasuk gerbong.

Banyak realita kehidupan kaum komuter yang saya saksikan. Sepanjang jalan sejumlah penumpang terpaksa berdiri karena tak kebagian tempat duduk. Banyak juga yang duduk lesehan. Beruntung mereka hidup di zaman anti mati gaya, mendengarkan musik dan bermain sosial media via ponsel menjadi cara membunuh waktu selama berdiri di dalam kereta. Ada juga yang memilih membaca koran atau hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa.

1387257541309480640
1387257541309480640

Asyik dengan gadget padahal ada seseorang di samping yang bisa diajak berkenalan.

1387257712464458852
1387257712464458852
Tak mendapat kursi pun tak masalah. Asalkan ada smartphone, kaum komuter ini tak pernah mati gaya sepanjang perjalanan.

Para penumpang kereta hari itu umumnya tak membawa banyak barang. Rata-rata hanya membawa sebuah tas punggung atau beberapa tas berukuran sedang di genggaman mereka. Hampir tak ada penumpang rempong yang saya lihat di gerbong saat itu.

Dari penampilannya kaum komuter Jogja Solo sepertinya banyak didominasi mahasiswa yang hendak pulang ke Solo atau sengaja mengunjungi dua kota tersebut untuk berwisata. Selebihnya mungkin adalah penduduk Solo dan sekitarnya yang bekerja di Jogja atau sebaliknya.

13872579401088185208
13872579401088185208

Bapak pemeriksa tiket.

Tiba saatnya pemeriksaan tiket. Seorang petugas berjalan menyisir gerbong lalu menarik tiket dari setiap penumpang. Entah apakah ia benar-benar memeriksa tiketnya, yang jelas dengan cepat sang bapak langsung melubanginya.

Hampir sejam kereta melaju, saya tiba di Solo dan turun di stasiun Purwosari. Dari stasiun itulah saya mulai berjalan-jalan menyusuri kota Solo hingga akhirnya pukul 14.00 saya memutuskan kembali ke Jogja.

Membeli tiket untuk menuju Jogja saya kembali mendapati perubahan jadwal pemberangkatan kereta komuter Jogja-Solo. Sebuah kertas terpasang di kaca loket, isinya pemberitahuan kereta api Sriwedari AC akan mengisi jadwal pemberangkatan terdekat. Padahal pada jam tersebut sebelumnya tak ada jadwal kereta menuju Jogja. Sayapun beruntung karena tak harus menunggu kereta hingga larut sore. Namun demikian perubahan jadwal yang kerap terjadi seperti ini harus segera diperbaiki oleh PT. KAI agar tidak merugikan penumpang yang membutuhkan ketepatan waktu.

13872571862008759459
13872571862008759459

Menanti kereta tiba.

Setelah berdiri menunggu beberapa menit di peron, kereta komuter Sriwedari AC tiba menjemput saya dan sejumlah penumpang. Hanya sebentar berhenti, kereta kemudian segera melaju membawa saya kembali ke Jogja.

Dengan harga tiket 2 kali lebih mahal dari Sriwedari non AC, interior Sriwedari AC memang jauh lebih mewah dengan dominasi warna biru. Deretan kursi empuk tertata menghadap ke depan layaknya kereta eksekutif. Sebuah colokan listrik tersedia di setiap kursi. Lantainya pun bersih beralas karpet. AC dan lampu juga berfungsi normal. Benar-benar sebuah kereta yang nyaman.

Tapi ada hal yang tidak sesuai ketentuan.Kereta komuter Sriwedari AC adalah kereta yang dirancang tanpa penumpang berdiri. Gantungan tangan pun tak tersedia. Namun pada hari itu kereta ternyata disesaki penumpang yang duduk di lantai. Sejumlah penumpang yang baru masuk termasuk saya pun terkejut dan merasa tidak nyaman ketika tahu tak mendapat tempat duduk padahal tiket yang dibeli adalah tiket dengan tempat duduk.

13872570581395758069
13872570581395758069

Kereta komuter Sriwedari AC dengan kualitas gerbong eksekutif sangat berbeda dengan kereta komuter non AC.

Dalam perjalanan seorang penumpang di gerbong yang saya naiki mengajukan protes kepada petugas. Beberapa menit berdebat akhirnya ia menerima kenyataan seperti saya dan lainnya yang harus berdiri atau duduk melantai. Saat itulah seorang ibu penumpang yang duduk di lantai bersama saya bercerita. Menurutnya penyimpangan prosedur seperti ini sudah biasa terjadi di kereta api komuter AC Jogja-Solo. Kereta yang semestinya mengangkut penumpang sejumlah kursi yang tersedia ternyata menjual tiket jauh lebih banyak dari jumlah kursi. Alhasil banyak penumpang yang tidak kebagian tempat duduk meski sudah membeli tiket dengan harga yang sama.

Tapi para kaum komuter Jogja-Solo sudah terbiasa dan berusaha memaklumi hal tersebut. Bagi mereka mendapatkan kereta yang bisa mengantarkan mereka pulang berjumpa keluarga dalam waktu yang cepat menjadi hal utama meski kenyamanan dan hak mereka sebagai penumpang sedikit terabaikan. Jadilah dalam gerbong “eksekutif” saat itu tampak sejumlah “penumpang terbuang” yang duduk di lantai dengan bersender pada dinding kereta dan jok kursi dekatnya.

1387256769318003558
1387256769318003558

1387256844327489444
1387256844327489444
"Penumpang terbuang" di dalam kereta komuter Sriwedari AC eksekutif. Meski membeli tiket duduk dengan harga yang sama mereka harus menerima kenyataan tak mendapatkan kursi.

Itulah komuter Jogja-Solo, kaum penglaju yang bergantung pada moda transportasi kereta api. Mereka yang sudah membayar sesuai ketentuan untuk mendapatkan haknya, namun akhirnya mengalah karena mungkin posisi tawar kereta api yang jauh lebih dibutuhkan.

1387256606188613960
1387256606188613960

Kaum komuter Jogja-Solo dan sebaliknya. Mereka adalah manusia-manusia yang setiap hari pulang dan pergi membawa kerinduan dan harapan.

Namun demikian potret-potret manis kehidupan tak pernah hilang dari dalam gerbong. Potret para kaum komuter yang setiap harinya bergegas meninggalkan keluarga untuk menjemput rezeki dan cita-cita, sambil berharap kepulangan mereka nanti akan membawa bahagia atau setidaknya harapan. Di dalam kereta komuter, para penumpang adalah manusia-manusia yang penuh dengan kerinduan dan perjuangan. Dan bersama laju kereta rindu dan perjuangan mereka dihantarkan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun