Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Dari "Dab" Hingga "Gondes", Uniknya Bahasa Gaul Yogyakarta

18 Januari 2014   10:17 Diperbarui: 4 April 2017   18:09 57006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Hai dab, piye kabare?”. Sapaan tersebut begitu lekat terdengar di Yogyakarta. Belakangan bahkan terdengar dari percakapan sejumlah orang di kota–kota lain. Mereka yang menggunakannya hampir dipastikan pernah tinggal di Yogyakarta atau orang Yogyakarta yang sedang berkunjung ke kota lain lalu bertemu koleganya. Sapaan dalam bahasa Jawa tersebut memang identik dengan Yogyakarta. Tapi jangan anggap itu adalah bahasa Jawa seutuhnya karena di dalamnya terselip bahasa gaul.

Di Indonesia bahasa gaul memiliki banyak ragam. Setiap komunitas atau setiap daerah bisa jadi melahirkan bahasa gaulnya masing-masing dan eksis hingga kini. Masyarakat Malang misalnya, mereka memiliki bahasa gaul yang populer dengan pola “walikan” di mana sebuah kosakata dalam “kamus gaul” mereka dibentuk dengan cara membalik kosakata aslinya. Percaya atau tidak banyak warga Malang yang fasih mengucapkan kalimat dengan susunan kata yang sebagian besar atau seluruhnya dibalik.

Sementara Malang melahirkan bahasa walikan, Yogyakarta pun memiliki bahasa gaulnya sendiri. Betul, orang Yogyakarta tak hanya menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari mereka. Meski menjunjung tinggi bahasa ibunya, warga Yogyakarta juga meramaikan percakapan di antara mereka dengan bahasa gaul. Hebatnya bahasa gaul Yogyakarta menjadi sangat populer bukan hanya di kalangan remaja atau anak mudanya saja namun mulai menyebar ke sejumlah kalangan. Dengan bahasa gaul mereka membuat percakapan menjadi lebih intim.

Status Yogyakarta sebagai ikon wisata Indonesia dan kota budaya turut mempopulerkan bahasa gaulnya. Beberapa bahasa gaul Yogyakarta sangat identik dan khas Yogya. Tak sedikit yang seolah-olah baku seperti halnya bahasa Jawa digunakan di daerah ini. “Piye dab, mangkat ora?. Pokmen aku wegah dhewekan”. Begitulah “dab” dan “pokmen” sebagai bahasa gaul Yogyakarta melebur serasi dan seakan tak terlihat telah bercampur dengan bahasa Jawa.

Namun meski banyak digunakan tak banyak orang tahu seperti apa proses kreatif pembentukan bahasa gaul Yogyakarta. Tak sedikit masyarakat termasuk orang Yogyakarta sendiri yang tak paham asal mula bahasa gaul yang kerap mereka munculkan dalam percakapan. Berikut ini saya sarikan beberapa bahasa gaul yang populer di Yogyakarta dari skripsi mengenai bahasa prokem atau bahasa gaul di Yogyakarta. Skripsi tersebut hasil penelitian Ismiyati pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2011.

Bahasa gaul yang dibentuk dengan memperpendek pengucapannya atau menjadikannya singkatan. Beberapa kosakata gaul populer yang dibentuk dengan cara demikian adalah Ndes berasal dari Ndesa yang artinya kampungan. Gondes berasal dari Gondrong Ndesa untuk meledek orang meski rambutnya mungkin tidak gondrong tapi dianggap kampungan. Mendes berasal dari Menthel Ndesa yang artinya gadis desa berperilaku genit. Ada juga Mukri yaitu Munyuk Kriting untuk meledek orang yang berpenampilan unik dengan rambut kriting. Raker berasal dari Randa Keren yang artinya janda keren.

Pede kependekan dari Pekok Dhewe. Pekok artinya bodoh, dhewe berarti sendiri. Pede ditujukan untuk orang yang terkesan paling bodoh. Ada juga yang unik yaitu Pecelele singkatan dari Pecinta Cewek Lemu-Lemu yaitu mereka yang menyukai wanita berbadan gemuk.

Hamsyong berasal dari Hampa dan Kosong yang berarti sangat kesepian. Macan Tutul berasal dari Manis Cantik Turunan Bantul yang artinya gadis cantik berasal dari Bantul.

Selanjutnya bahasa gaul yang dibentuk dengan menambahkan vokal di akhir kata. Siapapun yang pernah atau sedang tinggal di Yogyakarta pasti sangat familiar dengan ucapan-ucapan anak muda Yogya ketika mengucap “Ayu” atau “Ora” selalu berakhir dengan ujung vokal “i” dengan penekanan “k”. Semisal “Koncomu ayui(k)” atau “Wah kok aku orai(k)”.

Ayui(k), Orai(k), Asemi(k) adalah bahasa gaul yang dibentuk dengan penambahan “i” dan penekanan “k” di ujungnya. Penambahan itu memperkuat kesan kosakata aslinya. Misalnya Asemi(k) bermakna lebih mengumpat dari sekedar “asem!”. “Ayui(k) setara dengan “wow ayu sekali!”

Ada juga bahasa gaul yang dibentuk dengan cara membalik konsonan atau memindahkan vokal. Yipe berasal dari pembalikan Piye yang artinya bagaimana. Yai berasal dari pemindahan vokal Iya.Lalu Gombret yang berasal dari Gembrot artinya Gendut.

Kosakata bahasa gaul Yogyakarta juga dibentuk dari penghilangan vokal terakhirnya seperti Sop berasal dari Sopo (siapa) yang kehilangan “o” atau Or dari kata Ora (tidak) yang kehilangan “a”.

Lalu repetisi contohnya Pah Poh yang berarti suka melamun atau lambat merespon.

Bahasa gaul Yogyakarta juga dibentuk dengan mengambil referensi tertentu ditambah akhiran untuk menggambarkan sifat seseorang. Contoh bahasa gaul yang dibentuk dengan cara ini adalah Munyukan yang berasal dari Munyuk atau Monyet. Munyukan berarti perilaku orang yang suka garuk-garuk kepala seperti monyet. Contoh lainnya adalah Mbok-mbokan berasal dari Mbok atau Ibu berarti sifat mudah kangen atau manja kepada ibu.

Di luar itu semua masih ada beberapa kosa kata gaul Yogyakarta yang kerap mengisi percakapan masyarakat terutama anak mudanya. Bahasa-bahasa gaul itu tak hanya eksis di dalam rumah kos, warung-warung makan, perbicangan ruang keluarga tapi juga populer di kampus. Oleh karena itu jangan terkejut jika kita berbincang dengan sesama pemakai bahasa Jawa di Yogyakarta namun sering “roaming” dengan kosakatanya, itu berarti kita belum menjadi anak gaul Yogyakarta.

13900149381804697742
13900149381804697742

Laludari mana sapaan gaul “dab” yang menjadi ikon sekaligus simbol eksistensi bahasa gaul Yogyakarta yang sangat populer itu berasal?. Berbeda dengan kosakata gaul lainnya yang dibentuk dengan memodifikasi susunannya, “dab” dibentuk dengan melibatkan teka-teki ala detektif. Proses pembentukan “dab” boleh dibilang sangat cerdas. Berikut pembentukkannya.

Ha naca raka  data sawa la

Pa dha ja ya nya ma ga  ba tha nga

Dua baris di atas adalah aksara Jawa yang diurutkan. Dengan metode layaknya pencerminan, “dab” dibuat dengan cara melihat aksara yang bersebarangan atau berhadapan. “Dab” yang berarti sapaan untuk laki-laki yakni “mas” terbentuk dari “da” yang berseberangan “ma” dan “b” pada “ba” yang berseberangan dengan “s” pada “sa”. Proses pembentukan yang kreatif sekaligus njlimet.

Bahasa gaul Yogyakarta memang istimewa.Selamat berakhir pekan dan selamat “menjadi gaul” di Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun