Membaca sebuah artikel di kompas.com tentang krisis pangan yang kemungkinan mengancam Yogyakarta pada 2039, lalu membaca banyak berita serupa tentang rapuhnya ketahanan pangan Indonesia, termasuk sebuah tulisan dari Ibu Maria Hardayanto hari ini, membuat saya tertarik untuk membuka dan membagi sebagian file penelitan saya. Meski berlangsung di disiplin ilmu taksonomi, tapi penelitian tersebut dijalankan dalam kerangka pengembangan pangan lokal untuk menunjang ketahanan pangan. Selama berlangsungnya penelitian yang sudah dipublikasikan dalam berkala ilmiah tersebut, kami melakukan survey serta pengambilan sampel ke sejumlah daerah di Yogyakarta dan berhasil mengidentifikasi sejumlah tumbuhan lokal yang berpotensi sebagai pangan alternatif. Beberapa jenis tumbuhan itu juga tumbuh di sejumlah daerah lain di Indonesia dengan nama lokal yang mungkin berbeda-beda.
Beberapa tumbuhan dan umbi-umbi di bawah ini adalah sebagian dari spesies tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan alternatif, yang teridentifikasi dari penelitian saya tersebut.
Selain dengan menjaga lahan, meningkatkan ketahanan pangan dapat dilakukan dengan diversifikasi yang berbasis pada sumber daya dan kearifan lokal. Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah sebenarnya mempunyai modal dan potensi yang besar untuk mencapai kemandirian pangan melalui usaha diversifikasi tersebut. Namun sayang upaya diversifikasi pangan di negara kita tak pernah dikembangkan secara serius, hasilnya beberapa daerah di Indonesia kerap mengalami kesulitan pangan meski tanahnya tergolong subur.
Tak hanya menunjang ketahanan pangan, diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya hayati lokal juga dapat menunjang pemenuhan gizi masyarakat karena sumber pangan menjadi lebih beragam. Tidak ada satupun bahan makanan tunggal di dunia ini yang mengandung semua gizi yang diperlukan tubuh secara ideal. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan gizi, masyarakat seharusnya mengkonsumsi sumber karbohidrat lainnya selain beras.
Usaha diversifikasi pangan dapat dimulai dengan mengenalkan kembali berbagai macam tumbuhan lokal penghasil bahan pangan alternatif. Salah satu sumber daya hayati pangan lokal yang melimpah di tanah air adalah umbi-umbian.Indonesia memiliki banyak jenis dan ragam umbi-umbian yang potensial sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Sayangnyapotensi umbi-umbian tersebut belum dikembangkan sebagaimana mestinya.Hanyasingkong, ubi jalar, ganyong, talas dan kentang yang saat ini sudah banyak dikembangkan itupun belum maksimal. Di luar itu Indonesia memiliki banyak  jenis tumbuhan penghasil umbi-umbian yang dulu banyak dikonsumsi oleh kakek dan nenek kita. Umbi-umbian itu antara lain: Uwi, Gembili, Gembolo dan Tomboreso. Umbi-umbian tersebut dihasilkan oleh 4 jenis tumbuhan yang berbeda namun digolongkan dalam genus yang sama yakni Dioscorea.
Anggota genus Dioscorea umumnya berupa perdu memanjat dengan  daun bentuk jantung seperti daun sirih, ginjal, bulat telur, hingga bulat memanjang. Genus Dioscorea menghasilkan umbi di dalam tanah namun beberapa di antaranya juga memiliki umbi yang menggantung/aerial.
Uwiatau Dioscorea alata adalah anggota Dioscorea yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Jenis ini juga telah lama dikenal oleh masyarakat pedesaan. Uwi memiliki banyak varietas lokal dan rasa umbinya beragam mulai dari yang tawar hingga manis. Habitus uwi berupa perdu memanjat yang dapat mencapai ketinggian 3-10 m.Batang bersayap 4, tidak berbulu dan jarang berduri. Daun berbentuk bulat telur. Umbi umumnya majemuk, bentuknya sangat beragam dari bulat, panjang hingga menjari/bergerombol. Uwi mempunyai daging umbi berwarna putih, ungu dan kuning muda. Uwi dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian hingga 800 m. dpl, tetapi kadang-kadang dijumpai tumbuh di ketinggian 2700 m. dpl.Beberapa varietas lokal Uwi antara lain :
-Uwi Beras: Daging umbi berwarna putih kekuningan, pada penampang daging umbi terlihat struktur berbentuk lonjong yang lebih pekat dan tersebar di tengah daging umbi. Daging umbi keras, bergetah sedang, jika diremas daging pecah seperti pasir. Amilum berbentuk triangular, tunggal, ukuran rata-rata 26,2 ± 3,28 µm. Jika direbus umbi ini akan enak dimakan dengan taburan garam.
-Uwi Ungu: Daging umbi berwarna ungu seperti ubi jalar tapi teksturnya lebih keras, irisan segar daging umbinya menunjukkan struktur bulat-lonjong berwarna lebih putih yang tersebar di tengah daging umbi. Daging umbi bergetah sedang, jika diremas daging pecah seperti pasir. Amilum berbentuk perisai atau kipas (bulat telur yang salah satu kutubnya rata, tunggal, ukuran rata-rata 30,0 ± 5,139 µm.
-Uwi Ulo: Daging umbi berwarna putih, irisan segar umbinya memperlihatkan struktur bulat berwarna lebih putih yang tersebar di tengah daging umbi. Daging umbi keras, bergetah sedang, jika diremas daging pecah seperti pasir. Amilum berbentuk bulat telur terbalik, tunggal, ukuran rata-rata 31,3 ± 2,87 µm. Amilum lebih banyak tersimpan di dalam parenkim dekat berkas pengangkut bertipe kolateral dan tersebar.
Gembiliatau Dioscorea esculenta, mempunyai nama daerah uwi butul atau ubi jae. Habitus berupa perdu memanjat, daun berbentuk ginjal, batang kuat, bulat, berbulu halus dan berduri. Umbi bentuk bulat panjang, daging berwarna putih sampai putih kekuningan. Bunga tersusun dalam bulir berwarna hijau. Gembili dapat tumbuh di tanah datar sampai ketinggian 700 m. dpl. Gembili adalah jenis Dioscorea yang telah lama dibudidayakan oleh masyarakat desa meski tidak secara massal. Umbi yang masih mentah jika dimakan rasanya gatal, tetapi jika direbus enak dan agak lekat seperti ketan. Daging umbi lunak namun jika diremas hancur seperti pasir. Amilum berbentuk polihedral, ukuran rata-rata 6,18 ± 0,933 µm, di dalam sel parenkim amilum sebagian besar berada dalam struktur agregat
Gemboloatau Dioscorea bulbifera, mempunyai nama daerah uwi buah, uwi blicik atau jebubug. Secara morfologi Gembolo sangat mirip dengan Gembili. Hal ini membuat kebanyakan masyarakat yang menanamnya menganggap keduanya sebagai tumbuhan yang sama meski secara taksonomi keduanya berbeda. Perbedaan Gembili dan Gembolo yang paling nyata adalah dalam hal ukuran umbinya. Umbi Gembolo bisa berkembang sangat besar seperti ukuran bola sepak. Sementara habitusnya berupa perdu memanjat yang dapat mencapai ketinggian 3-10 m. Daun tunggal berbentuk jantung, umbi berbentuk bulat, besar dengan rambut akar yang pendek dan kasar. Daging umbi sangat bergetah namun lunak, berwarna kekuningan dan keras, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1800 m. dpl.Amilum berbentuk polihedral, ukuran rata-rata 3,36 ± 0,447 µm, di dalam sel parenkim sebagian besar berada dalam struktur agregat. Selain ditanam, Gembolo juga masih dapat ditemukan sebagai tumbuhan liar.
Tomboresoatau Dioscorea pentaphylla, mempunyai nama daerah huwi sawut, uwi mantri atau uwi dewata. Habitus berupa perdu memanjat yang dapat mencapai ketinggian 5-10 m. Umbi berbentuk bulat panjang dengan serabut akar yang halus. Daging umbi berwarna putih, kuning dan kadang-kadang terlihat bercak ungu, tidak bergetah, keras tapi jika diremas hancur seperti pasir.Warna daging umbi sangat cepat berubah menjadi coklat lalu hitam setelah terkena udara dan alkohol 70%. Daging umbi keras, jika diremas hancur seperti pasir. Amilum berbentuk bulat telur terbalik memanjang, tunggal, berukuran rata-rata 42,1 ± 5,494 µm. Daun majemuk dengan 3-7 helai anak daun yang berbentuk jorong. Tomboreso tumbuh di daerah dengan ketinggian 500-1050 m. dpl. Selain telah dibudidayakan, Tomboreso juga dapat ditemukan sebagai tumbuhan liar.
Beberapa anggota Dioscorea tersebut adalah bagian dari sumber daya pangan lokal yang sebenarnya berpotensi dikembangkan sebagai pangan alternatif di Indonesia. Namun sayang tumbuh-tumbuhan itu kini semakin jarang dijumpai kecuali ditanam dalam jumlah kecil oleh beberapa masyarakat pedesaan. Generasi sekarang bahkan mungkin sudah tidak mengenal lagi keberadaan tumbuh-tumbuhan dan umbi-umbian itu. Sementara di sejumlah negara di Afrika dan Amerika Tengah-Selatan justru berhasil mengembangkannya sebagai salah satu komoditas pedagangan. Ironis karena Indonesia sebenarnya diyakini sebagai salah satu pusat persebaran jenis-jenis Dioscorea di dunia. Indonesia juga sudah lama memiliki badan penelitian khusus umbi-umbian dan kacang-kacangan.
Akhirnya potensi Dioscorea dan sejumlah sumber daya pangan lokal lainnya yang tersisih menunjukkan kegagapan sekaligus kegagalan Indonesia dalam mengembangkan sumber daya hayatinya. Program pengembangkan dan penyeragaman tanaman pangan tertentu yang bertahun-tahun digalakkan pemerintah telah menggusur pangan lokal. Di saat yang sama stigma negatif terhadap pangan lokal terutama umbi-umbian kian lekat sebagai makanan yang tidak berkelas dan kurang bergizi. Anggapan itu sudah saatnya dibuang. Menurut Opara (2003), dalam seratus gram umbi Dioscorea spp. rata-rata terkandung 1,4 – 3,5 g protein, 0,4 – 0,2 g lemak, 16,4 - 31,8 g karbohidrat dan 0,4 – 10 g serat. Unsur yang terkandung dalam umbi Dioscorea spp. antara lain Kalsium (12–69 mg/100 g), Fosfor (17–61 mg/100 g), Besi (0,7–5,20 mg/100 g), Natrium (8–12 mg/100 g), dan Kalium (294–397 mg/100 g). Vitamin yang terkandung dalam umbi Dioscorea spp. adalah vitamin C (4–18 mg/100 g), Tiamin (0,01–0,11 mg/100 g), Riboflavin (0,01–0,04 mg/100 g) dan Niasin (0,3–0,8 mg/100 g).
Sudah semestinya umbi-umbian lokal Indonesia dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif. Ketergantungan pada satu atau sejumlah kecil bahan pangan tak akan hanya mengancam kelestarian sumber daya genetis tumbuhan lokal tapi juga mengancam ketahanan pangan Indonesia. Merawat dan memanfaatkan umbi-umbian lokal juga sebagai bagian upaya menjaga kearifan lokal masyarakat Indonesia yang terus tergerus oleh pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H