Merapi adalah sebuah Gunung Api. Tapi bagi sebagian masyarakat yang hidup bersamanya, Merapi lebih dari sekedar gunung. Merapi adalah tanah kelahiran mereka, teman hidup dan sumber penghidupan mereka. Lain dari itu Merapi juga diyakini sebagai sebuah “kerajaan”.
MUSEUM GUNUNG MERAPI
Merapi adalah satu dari tiga kerajaan besar yang berdiri di atas tanah Mataram Yogyakarta selain Keraton Yogyakarta sendiri dan Keraton Laut Selatan. Merapi, Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan juga dipercaya sebagai sebuah barisan kerajaan yang dihubungkan oleh satu garis lurus. Jika Keraton Yogyakarta adalah kerajaan manusia yang dipimpin oleh seorang raja, maka Merapi dan Laut Selatan dianggap sebagai kerajaan yang dihuni oleh makhluk dari alam lain. Dan di antara sekian banyak mitos makhluk halus yang diyakini menjadi bagian dari Gunung Merapi adalah Nyai Gadung Melati.
Nyai Gadung Melati dianggap sebagai pemimpin pasukan makhluk halus sekaligus pelindung lingkungan sekitar termasuk menjaga tumbuhan dan hewan di Merapi. Cerita yang berkembang menyebutkan Nyai Gadung Melati sering hadir di mimpi masyarakat kaki Gunung Merapi dan kehadirannya dalam mimpi dianggap sebagai pertanda dan peringatan bahwa Merapi akan meletus. Di dalam mimpi Nyai Gadung Melati hadir sebagai wanita berparas cantik dengan pakaian berwarna hijau daun melati.
Namun Nyai Gadung Melati bukanlah satu-satunya “penghuni” Merapi. Masyarakat lereng Merapi juga mengenal mitos mengenai keberadaan sosok gaib lainnya bernama Eyang Sapu Jagad. Sosok Eyang Sapu Jagad bahkan dipercaya memiliki kaitan erat dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan. Mitos ini berawal dari keinginan Panembahan Senopati (Suta Wijaya) yang ingin membangun kerajaan baru sebagai wujud peradaban baru. Keinginan tersebut kemudian mendapatkan bantuan dari Ratu Laut Kidul yang diyakini sebagai istri Panembahan Senopati. Kepada Panembahan Senopati, Ratu Laut Kidul menitipkan Ndhog Jagad (Telur Jagad) yang kemudian dititipkan kepada Kyai Sapu Jagad.
Mitologi Merapi-Laut Selatan memang sering dianggap sebagai cerita mistis yang menyeramkan. Namun demikian banyak budayawan dan masyarakat yang memilih untuk berpandangan lebih logis dan kekinian. Mitos Merapi-Laut Selatan tak bisa disisihkan dari kehidupan masyarakat tradisional tapi perlu dilihat dengan sudut pandang yang lebih modern bahwa potensi Laut Selatan dan Merapi yang begitu besar memerlukan niat yang tulus dan hati yang bersih supaya potensi sumber daya alam di Merapi dan Laut Selatan tersebut dapat digali dan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat menuju kehidupan dengan peradaban yang baru.
Sepenggal cerita di atas saya dapatkan ketika mengunjungi Museum Gunung Merapi di Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman DIY pada Minggu, 18 November lalu. Di tengah kawasan hijau berhawa sejuk tak jauh dari kaki Merapi, berdiri sebuah bangunan besar dengan wajah luar yang menawan.
Mustahil memindahkan sebuah gunung api ke dalam gedung. Tapi Museum Gunung Merapi ini memang menampilkan wajah lain dari bumi melalui gunung api. Berdiri di atas tanah seluas lebih dari 3 hektar, Museum yang mulai dibangun pada sekitar 6 tahun silam ini memaparkan secara rinci sejarah dan perkembangan Gunung Merapi sebagai sebagai salah satu gunung api teraktif dan tersohor di dunia. Menampilkan ratusan display yang menarik, masyarakat bisa mengenal lebih dalam wajah Gunung Merapi mulai dari morfologi puncaknya sejak tahun 1900 hingga terkini usai erupsi akhir 2010. Perkembangan kubah Merapi dari tahun 1786 juga dapat disaksikan di tempat ini. Semua disajikan secara eksklusif melalui rangkain foto, poster dan citra satelit. Ada juga spesimen batuan lava yang dimuntahkan oleh Merapi dari setiap periode letusan. Bahkan untuk mengenang letusan hebat yang terjadi 2010 silam, museum ini menyediakan ruangan khusus untuk menampilkan foto-foto letusan Merapi dilengkapi dengan beberapa benda yang menunjukkan dampak letusan hebat tersebut.
Sebagai sarana wisata edukasi, museum ini juga menyajikan informasi geologi yang berkaitan dengan kegunungapian. Tak hanya tentang Gunung Merapi, museum juga menampilkan wajah puluhan gunung api utama di Indonesia mulai dari Semeru, Lokon, Tangkuban Parahu hingga Anak Krakatau. Sementara Lantai II museum menjadi ruang pemutaran film mengenai sejarah letusan Merapi. Yang menarik dari museum ini adalah pengunjung langsung disambut oleh sang Merapi begitu masuk ke dalam museum. Dilengkapi suara gemuruh dan narasi mengenai Merapi, pengunjung diajak membayangkan nafas Merapi secara lebih dekat.
Tak hanya informasi dan pengetahuan di dalamnya yang menarik. Bentuk luar bangunan museum juga sangat unik dan eksotik. Dengan bentuk dasar kerucut, museum ini memang mengadopsi bentuk dasar Gunung Api dengan puncak berbentuk tugu runcing seperti halnya tugu kota Jogja. Sementara palataran dan tangga-tangga di depan dan di samping museum dihasilkan dari studi terhadap bentuk-bentuk bangunan candi ternama seperti Prambanan, Ratu Boko dan Sambi Sari. Sementara secara khusus bentuk pintu utama museum ini mengadopsi arsitektur Candi Ratu Boko.
Museum Gunung Merapi membawa Merapi lebih dekat kepada masyarakat yang selama ini memandang sebuah gunung hanya sebagai bentang alam yang mengerikan. Merapi adalah gunung agung yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Gunung ini mengajarkan nilai-nilai konservasi untuk menjaga alam, tradisi sekaligus membina hubungan yang baik antara manusia, alam sekitar dan Tuhannya. Dan bagi masyarakat lereng gunung, Merapi adalah teman hidup tak peduli seberapa besar letusan yang telah dimuntahkan, tak peduli seberapa banyak air mata dan duka yang tertinggal darinya.
Sayang, seperti halnya museum-museum lainnya di Yogyakarta dan Indonesia, Museum Gunung Merapi yang diresmikan pada 1 Oktober 2009 ini tampaknya juga belum banyak diminati oleh masyarakat. Namun demikian Merapi memang luar biasa, bahkan ketika diringkas dan dipindahkan ke dalam museum sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H