Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Demonstrasi KM ITB: Otokritik untuk Ambivalensi Gerakan Mahasiswa

21 April 2014   21:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak bisa dipungkiri gerakan mahasiswa adalah salah satu pilar  dalam mengawal sekaligus menjaga perjalanan pemerintahan dan negara. Sejarah telah membuktikan gerakan mahasiswa memainkan peran penting bahkan yang utama dalam perubahan-perubahan besar di Indonesia. Budi Oetomo 1908 sebagai tonggak kebangkitan nasional yang disusul dengan Sumpah Pemuda 1928 sebagai momentum persatuan bangsa Indonesia telah mengabadikan besarnya peran pemuda dan mahasiswa dalam perjalanan bangsa. Hal yang sama dilanjutkan olen gerakan mahasiswa di era kemerdekaan dan orde baru. Yang tak boleh dilupakan tentu saja gerakan mahasiswa yang secara heroik menumbangkan rezim otoriter orde baru sekaligus membuka jalan untuk era reformasi.

Setiap periode telah melahirkan gerakan mahasiswa dengan tantangannya masing-masing. Namun demikian tetap ada satu corak yang sama yang melekat pada gerakan mahasiswa dari era kebangkitan nasional hingga reformasi tersebut yakni intelektualitas gerakan yang murni. Tak heran jika di masa itu gerakan mahasiswa memiliki resonansi yang sama dengan suara masyarakat. Lalu bagaimana dengan gerakan mahasiswa era kini?. Masih murnikah gerakan mahasiswa di tengah semakin peliknya masalah bangsa?.

Kita harus optimis dan percaya bahwa mahasiswa sampai kapanpun akan selalu dibutuhkan dan menjadi salah satu pemeran utama dalam perjalanan bangsa Indonesia mencapai kejayaan. Namun kita juga harus menerima dan mengkoreksi bahwa ada yang salah dengan gerakan mahasiswa era kini.

Setelah era reformasi, gerakan mahasiswa di Indonesia seperti kehilangan bentuknya. Dengan mendompleng angin kebebasan berpendapat dan berekspresi yang berhembus kencang pasca reformasi, berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik diam-diam berhasil meracuni beberapa sendi gerakan mahasiswa.

[caption id="attachment_304051" align="aligncenter" width="601" caption="Hidup Mahasiswa Indonesia! "][/caption]

Berpolitik sebenarnya bukan hal baru bagi mahasiswa. Berbagai organisasi dan lembaga yang tumbuh dan besar di lingkungan kampus telah melahirkan banyak aktivis kampus yang di kemudian hari menjadi politikus atau ketua partai, menunjukkan bahwa benih dan naluri politik praktis sebenarnya telah disemai semenjak menjadi mahasiswa. Demikian halnya dengan praktik demokrasi mahasiswa di dalam kampus juga merupakan miniatur kehidupan demokrasi dan politik negara. Oleh karena itu meski seharusnya bebas dari kepentingan politik, kampus sebenarnya tak 100% bebas dan steril dari kepentingan politik. Seperti halnya bukan rahasia lagi jika ada satu atau beberapa partai politik di Indonesia yang memiliki basis dan kaderisasi unggul di lingkungan mahasiswa. Oleh karena itu mungkin sering kita jumpai sekelompok mahasiswa partisan partai tertentu menyisipkan nada-nada persuasif tentang pandangan partai dan tokoh politik idolanya sebagai bagian dari usaha kaderisasi meski itu tidak dilakukan secara ekstrim dan dalam skala kecil.

Jadi sesunggunya model dan benih politisasi kampus juga dilakukan oleh para mahasiswa itu sendiri. Namun yang  membedakan antara gerakan mahasiswa dahulu dan kini adalah kemurnian semangatnya. Gerakan mahasiswa dahulu berhasil menjaga karakter intelektualnya dan konsisten mengusung kemurnian gerakannya. Tak mengherankan jika para aktivis mahasiswa di masa dahulu seperti Ir. Soekarno memilih untuk tidak berorasi dan menggalang massa  selama ia masih menyandang status mahasiswa betapapun kuatnya naluri politik dan perjuangan yang ia miliki saat itu. Beliau memahami bahwa kemurnian gerakan mahasiswa sebagai gerakan intelektual harus dijaga.

Sayangnya pasca reformasi kemurnian gerakan mahasiswa di Indonesia justru semakin memudar. Racun-racun politik praktis telah menyebabkan gerakan mahasiswa terfragmentasi. Gerakan mahasiswa kini seperti terpolarisasi untuk menolak si A tapi menerima si B. Wajah gerakan mahasiswa Indonesia era kini menjadi ambivalen. Di saat yang sama gerakan mahasiswa tak menyadari (jika tidak boleh dikatakan tidak mau mengakui) ambivalensi mereka.

Demonstrasi yang dikoordinir Keluarga Mahasiswa (KM) ITB yang menolak kehadiran Joko Widodo ke kampus mereka beberapa waktu lalu mungkin bisa menjadi contoh terkini ambivalensi gerakan mahasiswa. Penolakan kedatangan pejabat atau tokoh politik ke kampus memang sudah sering terjadi dan tidak selalu hal yang keliru. Tapi kali ini mungkin berbeda. Kritik menghampiri aksi demonstrasi tersebut yang dianggap kurang memahami esensi kedatangan Jokowi sebagai undangan. Anggapan  kedatangan Jokowi akan menjadikan panggung kuliah umum ITB sebagai etalase capres menjelang pemilu presiden dipertanyakan. Mereka yang berdemontrasi mungkin beralasan bukan Jokowi yang mereka tolak tapi usaha politisasi kampus di balik kedatanganya. Tapi argumen itupun dengan segera berbalik arah ke muka gerakan mahasiswa itu sendiri. Hanya berselang beberapa hari terungkap rencana sebuah himpunan mahasiswa ITB untuk mengundang Presiden PKS, Ketua Umum PAN serta sejumlah tokok politik lainnya.

Pada akhirnya suara demonstrasi menolak politisasi kampus seperti kalimat ambigu yang terputus : “Dilarang menjadikan kampus sebagai etalase tokoh politik (kecuali tokoh kesayangan kami). Dilarang menggelar acara politik di kampus (kecuali acara partai kesayangan kami)”.

Dengan segera nalar intelektual gerakan mahasiswa dijungkirkan oleh sikap ambivalen mereka.Ambivalensi tersebut menunjukkan bahwa diakui atau tidak gerakan mahasiswa telah terpapar kepentingan politik praktis seberapapun kecilnya. Semakin nyata pula anggapan sebagian masyarakat bahwa gerakan mahasiswa era kini memang “membingungkan”. Sama membingungkannya ketika mereka membakar ban di jalan saat demo lalu meneriaki dan mengejar masyarakat yang ingin menyeberang.

Oleh karena itu demontrasi mahasiswa ITB dan aksi serupa lainnya di berbagai daerah adalah otokritik untuk gerakan mahasiswa di Indonesia. Hal itu sudah semestinya  menjadi cermin besar untuk berkaca bersama dan menemukan kembali ruh intelektual yang kini sedang memudar dari gerakan mahasiswa.

Lalu apakah itu berarti gerakan mahasiswa kini telah kehilangan arah?. Gerakan mahasiswa tidak kehilangan arah karena kapanpun gerakan mahasiswa selalu memiliki tujuan tertentu. Namun, fragmentasi dan polarisasi telah membuat gerakan mahasiswa penuh dengan ambivalensi. Gerakan mahasiswa di Indonesia sedang kehilangan bentuknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun