[caption id="attachment_307627" align="aligncenter" width="473" caption="screen shot kompas.com"][/caption]
Sering kita jumpai, atau bahkan kita sendiri kerap meletup emosinya setiap kali mendengar makanan Indonesia diklaim dan dipatenkan oleh negara lain. Saat ada kabar katanya tempe dipatenkan di Jepang dan Amerika kita berontak tak terima. Maka saat rendang dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia segera muncul keinginan menggebu patenkan rendang sebelum dicuri negara tetangga. Agak mirip dengan kejadian saat ada pihak dari negeri jiran berniat mendaftarkan motif batik buatan mereka lantas kita bereaksi marah menganggap Malaysia mencuri batik khas Indonesia, padahal siapapun bisa mendaftarkan motif batiknya sendiri.
Semua reaksi itu adalah hal yang wajar sebagai ekpresi rasa terusik seorang anak negeri untuk mempertahankan identitas dan warisan budaya bangsanya. Namun sepanjang itupula kita juga tak pernah mendapati bahwa Rendang dipatenkan oleh Padang, Gudeg dipatenkan oleh Yogyakarta atau tempe khas Indonesia dipatenkan bangsa sendiri. Lalu tiba-tiba ada niat mematenkan Rujak Uleg oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.
Membaca berita di kompas.com tentang Ibu Risma yang hendak mematenkan Rujak Uleg, saya bertanya-tanya, niat itu sungguhan atau hanya ungkapan kebanggaan Risma sebagai pemimpin Surabaya untuk ikut mengenalkan kuliner kota tersebut? Dan ketika tuntas membaca isi tulisan tersebut saya menjadi agak terkejut, bukan karena Rujak Uleg saja yang hendak dipatenkan, tapi juga Lontong Balap, Tahu Campur, Soto Ayam dan beberapa makanan lainnya, melainkan ambisi Walikota Surabaya tersebut bagi saya mengada-ngada dan sulit diwujudkan. Makanan tidak bisa dipatenkan.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada seorang penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu. Dalam UU. Republik Indonesia No 14 Tahun 2001, definisi paten lebih spesifik lagi, bukan hanya membatasi istilah penemu sebagai inventor dan penemuan sebagai invensi, tapi juga memberikan batasan bahwa paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langka inventif serta dapat diterapkan dalam industri. Undang-undang tersebut juga memasukkan batasan teknologi dan keahlian ke dalam ruang lingkup paten.
Dengan demikian sesuatu yang bisa mendapatkan paten setidaknya harus memenuhi syarat: jelas penemunya, mengandung unsur kebaharuan (novelty) sebagai bentuk penemuan, bisa diterapkan dalam industri. Dalam hal makanan tradisional atau dalam hal ini Rujak Uleg susah untuk mengetahui siapa penemunya. Surabaya tidak bisa dianggap sebagai penemu karena dalam paten penemu adalah seseorang atau beberapa orang. Meski penemu sebuah makanan bisa saja ditemukan melalui penelusuran sejarah atau jika itu makanan modern, juru masak dan chef bisa disebut penemunya, namun syarat berikutnya tetap sukar untuk dipenuhi yakni memastikan unsur kebaharuan. Selanjutnya produk makananjuga tidak bisa diterapkan dalam industri.
Oleh karena itu Rujak Uleg, Soto Ayam, Lontong Balap atau makanan apapun dari daerah manapun tidak bisa mendapatkan paten. Apalagi produk makanan erat dengan proses kreasi estetika yang dalam konteks hak paten tidak berlaku. Bayangkan jika Rujak Uleg mendapat hak paten lalu seorang pembuat lainnya menambahkan sedikit bahan yang berbeda atau tidak menggunakan cabe merah melainkan hanya cabe rawit serta takaran gula dan garam berbeda, maka bisa akan lahir ribuan paten berdasarkan variasi kreasi tersebut. Dalam sejarahnya makanan tradisional kemungkinan besar juga merupakan hasil percampuran atau pengaruh budaya yang kompleks. Atas dasar pemikiran itu juga paten tidak diberikan kepada produk makanan.
Namun bukan berarti tidak ada hak kekayaan intelektual untuk sesuatu yang berkaitan dengan makanan. Teknologi atau proses, termasuk alat-alat pembuatan makanan bisa dipatenkan dengan kriteria yang sama dengan syarat paten. Sebagai ilustrasi, Rujak Uleg tidak bisa dipatenkan oleh Surabaya, tapi jika ada orang atau beberapa orang yang bisa menemukan teknik pengalengan rujak uleg yang inovatif, maka teknologi rujak uleg kalengan bisa dipatenkan, meski produk rujak ulegnya tidak mendapatkan paten.
Pengakuan lainnya yang bisa diusahakan adalah identitas, dalam hal ini Ibu Risma atau Surabaya bisa menunjukkan bahwa Rujak Uleg Surabaya berbeda dengan Rujak Bebek Jakarta atau produk lain yang mirip. Selanjutnya jika ada merek usaha Rujak Uleg yang sangat ikonik dan khas Surabaya, maka merek tersebut bisa diusahakan mendapatkan pengakuan merek atau rahasia dagang jika melibatkan unsur teknologi atau informasi bisnis yang bernilai ekonomi dan rahasia. Dalam konteks yang lebih luas dan bergengsi, Rujak Uleg juga bisa diusulkan sebagai warisan dunia seperti halnya rendang yang telah diakui UNESCO. Namun paten atas produk rujak uleg tetap tidak bisa didapatkan.
Oleh karena itu cukup mengherankan jika benar seperti apa yang diberitakan di kompas.com dan sejumlah media lainnya bahwa Walikota Risma telah memproses paten untuk Rujak Uleg dan lain sebagainya agar tidak diklaim oleh Negara lain. Ibu Risma dan tim hukum kota Surabaya mungkin lupa bahwa makanan tidak bisa dipatenkan belajar dari kenyataan bahwa tidak pernah ada paten untuk Rendang Padang atau Gudeg Jogja. Atau sebenarnya Rujak Uleg hanya diusahakan untuk mendapatkan pengakuan identitas “Rujak Uleg Surabaya” tapi Ibu Risma terlalu bersemangat, jika tidak boleh dikatakan berlebihan, menyebutnya sebagai paten? Mencampuradukan istilah paten, hak cipta, hak merek dan hak kekayaan intelektual adalah kekeliruan fatal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H