Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jogja yang Tak Pernah Kehabisan Energi Dalam Merawat Budaya

13 September 2014   14:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_323772" align="aligncenter" width="630" caption="Suasana pentas ketoprak dalam Pasar Kangen yang digelar di halaman Taman Budaya Yogyakarta, 22 Agustus 2014."][/caption]

Sebagai kota budaya Jogja dikenal sebagai tempat lahir, hidup dan berkembangnya banyak ragam kebudayaan dan tradisi. Tak hanya budaya Jawa atau yang spesifik budaya Jogja sendiri, tapi juga budaya dari daerah lain yang menemukan rumah keduanya di Jogja.

Namun sebagai kota budaya Jogja juga mengalami masalah yang serupa dengan daerah-daerah lain dalam mempertahankan nafas budayanya. Gerbong globalisasi yang membawa banyak nilai asing tak luput mempengaruhi nafas budaya Jogja dan tradisi manusianya. Ancaman eksistensi yang menimpa budaya daerah lain terjadi juga pada budaya Jogja yang diuji ketahanannya.

Banyak masyarakat asli Jogja dan pendatang yang peduli merasakan abrasi perlahan-perlahan pada nilai budaya serta tradisi Jogja. Tak sedikit pula yang cemas budaya-budaya itu akan kehabisan nafas lalu mati sebagai tradisi yang terawat lagi.

Kecemasan yang cukup beralasan termasuk jika menengok kondisi Jogja yang kini dipenuhi café-cafe modern dan kawasan gaya hidup baru di mana integrasi mall dan apartemenmulai banyak bermunculan. Tak jarang pula terlempar kritik dan terdengar suara bisik-bisik tentang festival jajanan atau budayatradisional tapi stand makanannya dipenuhi oleh penjual kentang goreng. Manusia Jogja juga terpapar hal yang sama di mana anak sekolahan sudah lebih suka menggunakan istilah-istilah Korea untuk saling sapa.

[caption id="attachment_323774" align="aligncenter" width="546" caption="Seorang bocah duduk menyaksikan pentas ketoprak di Pasar Kangen. Tanpa disadari ia telah ikut memberi energi dan nafas pada ketoprak yang sedang dipentaskan."]

1410567751977509448
1410567751977509448
[/caption]

Namun tiba-tiba saya  melihat kondisi yang berbeda. Kecemasan akan tenggelamnya kebudayaan dan tradisi Jogja sepertinya tidak akan terjadi. Setidaknya itu yang saya rasakan saat berkunjung ke Pasar Kangen di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) 22 Agustus 2014.

Panggung pementasan sederhana yang digelar di halaman TBY malam itu membuat saya berfikir untuk membuang kecemasan akan matinya kebudayaan Jogja. Selama pementasan ketoprak, saya merasakan ada energi yang terpancar dari panggung dan sekitarnya. Saya tak menyangka ada banyak anak kecil yang antusias duduk tanpa alas sambil hidmat menyaksikan pementasan ketoprak. Di sekitarnya orang dewasa hingga orang tua melakukan hal yang sama. Mereka menonton pentas ketoprak berbahasa Jawa meski di sekeliling mereka ada sajian lain yang lebih memikat yakni festival jajanan yang saat itu ramai dikunjungi anak-anak muda terutama kalangan mahasiswa.

Beberapa kali saya menonton pertunjukkan di kota Jogja ini tapi malam itu saya merasakan bahwa Jogja memiliki energi budaya yang bisa dibangkitkan kapan saja anda masyarakatnya mau melakukannya. Panggung ketoprak itu membuktikan kekuatan energi tersebut.

Teman saya yang bahkan 5 menit pertama menonton ketoprak malam itu mengeluh tak paham dengan bahasanya dan ingin segera pergi, tapi kemudian justru ikut duduk tanpa alas sampai pertunjukkan usai. Ia memang orang Jakarta yang tak mengerti banyak bahasa Jawa, tapi energi budaya dari panggung ketoprak ternyata membuatnya bisa merasakan setiap menit pertunjukkan. Pada akhirnya energi budaya itu tak hanya bangkit dari atas panggung. Para penonton yang sepanjang malam menikmati pertunjukkan pun tanpa sadar telah membangkitkan dan memberikan energi mereka untuk memberi nafas bagi pertunjukkan yang sedang mereka saksikan.

[caption id="attachment_323775" align="aligncenter" width="567" caption="Bersama-sama memberi nafas dan energi pada budaya Jogja dengan terus menontonnya."]

14105679391423403203
14105679391423403203
[/caption]

Membangkitkan energi budaya, sepertinya itulah yang selama ini dilakukan oleh Jogja untuk terus memberikan nafas pada kebudayaan dan tradisi-tradisi daerahnya. Derasnya arus globalisasi dilawan oleh Jogja dengan cara memenuhi ruang-ruang kehidupan masyarakatnya dengan energi budaya. Warga Jogja dijejali dengan pentas-pentas budaya yangmemaksa pandangan dan telinga mereka menikmatinya. Tentu ada yang selalu sukarela dan senang dengan suguhan-suguhan tersebut, tapi mereka yang sebelumnya mulai melupakan budaya Jogja akhirnya terpapar kembali dengan nilai-nilai tradisinya.

Dalam memberi nafas dan merawat budayanya, Jogja tak memilih untuk menggelar pagelaran megah secara kolosal dalam bentuk pekan budaya atau bulan festival. Sebaliknya Jogja justru lebih senang menggelar acara-acara berskala kecil dan menengah sepanjang tahun yang secara konsisten tersebar di banyak tempat mulai dari kota hingga desa. Cara yang cerdik karena efeknya lebih terasa dan mampu menjangkau ruang-ruang kehidupan masyarakat secara langsung.

Pada saat Pasar Kangen digelar di Taman Budaya, di tempat yang berbeda sejumlah kegiatan dan pentas budaya juga diselenggarakan. Tak hanya di dalam pusat kota, tapi juga di kampung-kampung energi budaya Jogja dibangkitkan. Jika di pusat kota pertunjukkan kolosal dan pawai budaya sangat sering digelar, maka di desa-desa upacara-upacara tradisional yang melibatkan langsung masyarakat seperti merti desa menjadi sarana yang paling sering digunakan untuk membangkitkan energi budaya Jogja. Jangan heran juga jika setiap minggu di Puro Pakualaman diadakan pertunjukkan seni tradisional dari sejumlah daerah di Jogja yang bisa disaksikan secara oleh masyarakat secara gratis. Oleh karena tak perlu terkejut dengan banyaknya pagelaran dan festival yang nyaris tiada henti digelar di seantero Jogja. Sebaliknya di Jogja tak ada Pekan Raya Budaya Jogja.

[caption id="attachment_323777" align="aligncenter" width="450" caption="Beraksi di tengah para pejalan kaki adalah salah satu ciri khas seniman Jogja (6/9/2014). Dengan cara ini Jogja memenuhi ruang-ruang kehidupan masyarakatnya dengan kebudayaanya sendiri."]

1410568060104721090
1410568060104721090
[/caption]

[caption id="attachment_323778" align="aligncenter" width="567" caption="Tak peduli ditonton atau tidak, energinya untuk menari tetap sama, itulah Jogja."]

1410568242919475578
1410568242919475578
[/caption]

Energi budaya Jogja tak hanya dibangkitkan di atas panggung-panggung oleh kelompok masyarakat. Banyak pula orang Jogja yang secara individu memberikan nafas bagi budaya Jogja dengan caranya sendiri. Seniman-seniman jalananJogja adalah contohnya.

Seniman Jogja dikenal sebagai pelaku seni dan budaya yang “gila” dalam setiap kerjanya. Gila karena mereka sering tak mengenal tempat, waktu dan keadaan. Di tengah trotoar yang padat pejalan kaki seniman Jogja bisa tiba-tiba beraksi. Tak peduli ada atau tidak ada penonton, energy mereka untuk menari tetap sama. Yang mereka lakukan adalah menyebarkan energi budaya dengan sasaran acak orang-orang di sekitarnya.

[caption id="attachment_323779" align="aligncenter" width="567" caption="Ada energi budaya yang luar biasa malam itu di Jogja. Energi yang membuat kebudayaan Jogja tak pernah kehabisan nafas."]

14105683692085415994
14105683692085415994
[/caption]

Jogja tak pernah kehabisan energi budaya bukan hanya karena energi itu kekal, tapi karena Jogja juga mampu mengubah energi itu menjadi nafas bagi kebudayaanya. Banyaknya pertunjukkan dan kegiatan budaya yang digelar tanpa henti di Jogja bukanlah sekadar pemanis wisata. Lebih dari itu adalah cara Jogja untuk memenuhi ruang-ruang kehidupan masyarakatnya dengan energi budaya agar budaya dan tradisi mereka terus bisa bernafas. Itu sebabnya mengapa setiap sudut Jogja memiliki energi dan rasa yang sama, yakni kental budaya. Sepertinya Indonesia perlu meniru cara Jogja dalam merawat dan memberi nafas pada kebudayaannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun