[caption id="attachment_325292" align="aligncenter" width="560" caption="Seorang petani tua berdiri di tengah sawahnya yang hendak ditanami di pagi hari."][/caption]
Suatu hari ketika berkunjung ke Klaten, Jawa Tengah, saya melintasi hamparan sawah yang begitu luas. Taburan hijau, birunya langit serta awan putih yang berserakan di atasnya membuat takjub. Di pinggir sawah saya diam membiarkan mata menyapu seluas mungkin pandangan yang bisa dijangkau. Samar-samar bunyi bulir padi yang saling bergesekkan tertiup angin menghasilkan nyanyian alam yang menyenangkan hati. Genangan air dan bibit-bibit yang terendam setengahnya, langkah kaki para petani di pagi hari dan ketekunan mereka membajak dan menanami sawah adalah pemandangan yang maha indah. Terima kasih kepada para petani yang telah menanami sawah sehingga pemandangan indah ini tercipta. Meski kenyataannya ada ironi dan kesedihan di balik indahnya pemandangan sawah-sawah itu.
[caption id="attachment_325293" align="aligncenter" width="630" caption="Indahnya pemandangan sawah Indonesia menyimpan banyak cerita dan ironi tentang sektor pertanian dan petaninya yang belum sejahtera."]
Hari ini, 24 September 2014, Hari Tani Nasional kembali diperingati untuk yang ke-54 kali. Tapi apa maknanya bagi petani?. Rasanya tak ada. Sementara bagi pertanian Indonesia peringatan hari tani hanya seperti pengulangan tanpa perubahan karena nyatanya pertanian Indonesia masih tertidur di persimpangan jalan. Tertidur karena hingga kini masih merenda mimpi sebagai negara agraris yang swasembada dari hasil buminya sendiri. Berada di persimpangan jalan karena sektor pertanian sebagai penunjang kehidupan masyarakat Indonesia semestinya mampu menjadi kendaraan untuk mengentaskan kemiskinan.
[caption id="attachment_325294" align="aligncenter" width="567" caption="Bibit-bibit padi yang mulai ditanam. Bersamaan dengan itu ada mimpi yang disemai agar panen kelak bisa mendatangkan kesejahteraan, semoga."]
Pada 1980-an pertanian Indonesia pernah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam menciptakan lapangan kerja. Saat itu Indonesia mencapai swasembada beras. Bahkan pada tahun 1970-an kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak terlalu jauh berbeda.Namun kini keadaan tidak lagi berpihak kepada petani.
Seiring berjalannya waktu produktivitas dan hasil panen mengalami penurunan, ditambah sempitnya lahan pertanian yang dimiliki mayoritas petani, pertanian Indonesia kemudian seperti kehilangan potensinya. Sektor pertanian terus terpuruk dan nasib petani tak kunjung sejahtera. Alih-alih menambah lapangan pekerjaan atau meningkatkan penghasilan, sektor pertanian saat ini justru dihimpit oleh tekanan kemiskinan.
[caption id="attachment_325295" align="aligncenter" width="614" caption="Tekun menanami sawah."]
Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 yang dilakukan Badan Pusat Statistika dengan sampel 418.000 rumah tangga, menunjukkan hasil bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian di Indonesia sebesar Rp 550.000 per kapita per bulan. Namun besaran pendapatan itu tidak sepenuhnya berasal dari usaha pertanian. Hanya sebesar Rp 250.000 per kapita per bulan saja yang berasal dari usaha pertanian. Artinya, petani Indonesia boleh dikatakan miskin jika hanya mengandalkan pendapatan dari usaha pertanian. Sementara 63% petani di negeri ini mengandalkan hidupnya dari usaha pertanian.
[caption id="attachment_325296" align="aligncenter" width="553" caption="Sejumlah petani wanita yang sebagian berusia lanjut berangkat menuju sawah di pagi hari."]
[caption id="attachment_325297" align="aligncenter" width="539" caption="Sepeda kumbang, petani tua dan embun di pagi hari. Pemandangan ini semestinya menyejukkan di pagi hari."]
Hasil Sensus Pertanian 2013 menyebutkan rumah tangga pertanian di Indonesia berjumlah 26,14 juta rumah tangga. Jumlah tersebut didominasi subsektor tanaman pangan sebanyak 17,73 juta rumah tangga. Sementara jumlah petani Indonesia ada sekitar 31,7 juta orang yang 20,4 juta di antaranya berada di subsektor pertanian tanaman pangan. Petani pada subsekstor perikanan yang menangkap ikan tercatat paling sedikit yaitu hanya 0,93 juta orang.
Ironisnya dari seluruh rumah tangga pertanian Indonesia, sebagian besar adalahrumah tangga pertanian gurem yakni petani yang menggunakan atau menguasai lahan kurang dari 0,5 hakter. Sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau 55,33 persen dari rumah tangga pertanian di Indonesia masih termasuk kategori gurem tersebut. Sementara rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga usaha pertanian tahun 2013 hanya seluas 0,89 hektar.
Selain itu jumlah petani utama yang berusia diatas 54 tahun pada tahun 2013 juga sangat besar, yaitu sebanyak 8,56 juta rumah tangga. Itu berarti 32,76 persen petani Indonesia segera memasuki usia lanjut. Di sisi lain sektor pertanian semakin dianggap tidak menarik oleh masyarakat usia produktif.
[caption id="attachment_325298" align="aligncenter" width="536" caption="Berbincang di gubug di tepi sawah. Mereka tidak mengeluh tentang beratnya hidup, tapi mereka pasti menyimpan asa untuk bisa lebih sejahtera."]
Oleh karena itu tantangan bagi pemerintahan Indonesia yang baru tidaklah ringan. Selain dituntut untuk meningkatkan kembali minat masyarakat terhadap sektor pertanian, pemerintah juga harusmenata ulang regulasi dan rencana program agar sektor pertanian dan para petani tidak lagi termarjinalkan dalam kebijakan daerah maupun kebijakan nasional. Departemen Pertanian harus harus meningkatkan kapasitas serta peranannya dalam menyusun kebijakan dan melakukan riset yang inovatif. Pemerintahan yang baru harus sungguh-sungguh mengupayakan strategi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas pertanian Indonesia dan mensejahterakan para petani secara terus menerus.
[caption id="attachment_325299" align="aligncenter" width="630" caption="Sawah yang memberi makan 90% rakyat Indonesia. Dari tempat ini semestinya kesejahteraan bisa diraih."]
Sebuah ironi menyedihkan bagi negara yang sejak lama tertulis di buku teks pelajaran sekolah dan perguruan tinggi sebagai negara agraris di mana 90% masyarakatnya mengkonsumsi beras namun belum meraih kemakmuran di bidang pertanian. Impor sejumlah produk pertanian masih saja terjadi.
[caption id="attachment_325300" align="aligncenter" width="603" caption="Masih setia di sawah meski hari sudah mulai gelap."]
Tak hanya di subsektor pertanian pangan, pada subsektor perikanan kita pun pantas prihatin karena Indonesia ternyata masih mengimpor ikan asin dari negara Singapura, Hongkong, Inggris dan Jepang. Menurut data Kementerian Perdagangan nilai import ikan asin tertinggi terjadi di tahun 2009 lalu dengan nilai impor mencapai US$ 515.752 dan berat 119.380 kg. Periode tahun 2014 dari bulan Januari hingga Juli import ikan asin telah menurun hanya sekitar US$ 53.229 dengan berat 1.242 kg. Namun tetap saja susah diterima akal sehat bagaimana bisa negara dengan kekayaan laut dan garis pantai tiada duanya di dunia ini mengimpor ikan asin dari negara kecil seperti Singapura dan Hongkong.
[caption id="attachment_325301" align="aligncenter" width="630" caption="Kesehjateraan pertanian dan petani Indonesia semoga bukan mimpi yang kelamaan."]
Tampaknya kita harus berbesar hati menerima kenyataan pahit menjadi negara agraris yang masih bermimpi untuk swasembada pangan. Mimpi yang setiap tahun dan setiap pergantian pemerintahan masih terasa samar kapan akan terwujud. Sementara itu ada yang selalu dilupakan setiap kali pemimpin negeri ini bicara tinggi tentang ketahanan pangan. Para pejabat dan juga kita lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada para para petani Indonesia yang di usia tuanya masih setia dan tekun menanam padi. Tangan dan sawah para petani telah mengenyangkan dan mensejahterakan banyak orang di negeri ini meski sebagian dari mereka sendiri masih bermimpi untuk bisa sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H