[caption id="attachment_329797" align="aligncenter" width="560" caption="Wayang kulit "][/caption]
Ketika UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan dunia dari Indonesia, sudah sepantasnya kita tak hanya merasa senang dan bangga. Melestarikan serta menggali makna filosofi wayang adalah tanggung jawab yang harus dikerjakan berikutnya. Namun sebelum itu mengenal wayang adalah langkah pertama yang perlu dilakukan.
Museum Sonobudoyo yang terletak Yogyakarta adalah tempat yang tepat untuk mengenal kekayaan wayang Indonesia termasuk salah satunya wayang kulit. Meski bukan museum khusus wayang, koleksi wayang di Museum Sonobudoyo yang berjumlah sekitar 3.000 menjadikan tempat ini sebagai rujukan utama untuk mempelajari dan mengenal keistimewaan wayang Indonesia.
Beberapa koleksi wayang di Museum Sonobudoyo tergolong istimewa karena sudah berumur ratusan tahun, jarang dipamerkan atau sudah sangat langka dimainkan. Koleksi-koleksi itu hanya dipamerkan secara terbatas dalam sebuah eksibisi khusus seperti yang baru saja digelar pada pekan terakhir September 2014 lalu.
[caption id="attachment_329798" align="aligncenter" width="420" caption="Fasad wayang kulit Duryudana yang dibuat tahun 1780 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I."]
Salah satu koleksi istimewa wayang kulit di Museum Sonobudoyo adalah wayang Duryudana gaya Yogyakarta yang berusia 234 tahun. Wayang Duryudana tersebut memiliki wanda atau citra jangkung dengan sunggingan muka yang tegas. Bibir bawah berwarna merah sementara alis dan kumisnya memanjang lentik dengan ujung meruncing. Mahkota yang dikenakan memiliki bagian belakang berupa kepala naga dengan taring-taring yang besar. Tangan dan kukunya panjang serta tajam. Semua citra tersebut menggambarkan watak Duryudana. Selain itu seluruh badan wayang Duryudana tersebut berwarna emas dengan kedua tangan yang bebas dan dapat digerakan.
[caption id="attachment_329799" align="aligncenter" width="560" caption="Watak Duryudana tercermin dari citra wajahnya dengan sunggingan, mata, alis, bibir serta kumisnya."]
Pada bagian kaki Duryudana terdapat relief aksara Jawa. Bagian yang menghadap ke kiri berbunyi “Yasa Dalem ing Kadipaten: Kyai Birawaji”. Sementara pada bagian yang menghadap ke kanan berbunyi “Sengkalan: Naga Sirna Giri Tunggal”.
Berdasarkan penelitian dan petunjuk pada fasadnya, wayang Duryudana tersebut dibuat pada tahun 1708 Jawa atau 1780 Masehi. Dengan kata lain wayang Duryudana itu merupakan salah satu wayang tertua karena dibuat pada masa pemerintahan raja pertama Kraton Yogyakarta yakni Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Adapun pola tatahan pada tubuh wayang teridentifikasi dibuat oleh Kyai Resapenatas.
[caption id="attachment_329800" align="aligncenter" width="560" caption="Tangan Duryudana."]
[caption id="attachment_329802" align="aligncenter" width="560" caption="Relief beraksara Jawa pada bagian kaki wayang menunjukkan tahun dan masa pembuatan wayang Duryudana."]
[caption id="attachment_329803" align="aligncenter" width="551" caption="Tatahan atau ukiran pada wayang Duryudana dibuat oleh Kyai Resapenatas."]
Duryudana atau disebut juga Suyudana adalah sulung dari Kurawa. Dalam kisah Mahabharata Duryudana dikenal sebagai tokoh antagonis dengan watak dengki, egois dan penuh iri hati terutama terhadap para sepupunya, Pandhawa. Duryudana juga seorang yang angkuh, sombong dan penuh dengan keangkaramurkaan. Ia tak senang melihat Pandhawa hidup tenang.
[caption id="attachment_329804" align="aligncenter" width="551" caption="Duryudana yang memiliki sifat antagonis dan humanis secara bersamaan."]
Meski berwatak antagonis, Duryudana juga memiliki sikap humanis yang menyentuh. Ia sangat setia dan mencintai istrinya, Banowati. Selain itu Duryudana juga seorang yang kuat dalam pendirian meski keteguhan hatinya itu ia gunakan untuk terus memerangi Pandhawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H