Sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank pertama yang menerapkan prinsip syariah, kini pertumbahan keuangan syariah baik bank maupun non-bank mengalami peningkatan yang luar biasa. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai menerima akan keunggulan keuangan syariah yang dalam operasionalnya tidak mengandung praktik riba.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Januari 2017, secara nasional industri perbankan syariah terdiri dari 13 Bank Umum Syariah (BUS), 21 Unit Usaha Syariah (UUS) yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 166 BPRS dengan total aset Rp 356,50 triliun dengan pangsa pasar sebesar 5,13 persen.
Kita patut bersyukur di usianya yang sudah lebih 20 tahun perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Namun, jika dilihat dari potensi yang dimiliki bangsa Indonesia pencapaian itu masih jauh dari harapan kita. Jika dibandingkan dengan Malaysia pangsa pasar kita masih kalah jauh. Malaysia sudah jauh meninggalkan kita dengan pangsa pasar yang sudah mencapai angka 20 persen. Sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam semestinya Indonesia mampu melebihi Malaysia dan menjadi kiblat keuangan syariah dunia.
Empat Jurus
Melihat fakta bahwa pangsa pasar perbankan syariah kita masih jauh tertinggal, maka dibutuhkan upaya maksimal dan serius agar kita bisa jadi pemain utama di industri keuangan syariah. Menurut Hermansyah Kahir (2014), ada beberapa jurus yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pangsa pasar (market share)perbankan syariah.
Pertama, komitmen pemerintah. Dalam pengembangan perbankan syariah pemerintah tidak bisa lepas tangan. Dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan agar industri perbankan syariah negeri ini pertumbuhannya semakin cepat dan tidak stagnan. Indonesia perlu mencontoh Malaysia—di mana intervensi pemerintah di sana cukup besar. Berkat dukungan pemerintah, kini Malaysia cukup diperhitungkan dalam percaturan keuangan syariah di tingkat global.
Karena itu, kita menaruh harapan yang sangat besar kepeda pemerintahan Jokowi Dodo dan Jusuf Kalla untuk lebih serius membangun dan memajukan industri perbankan syariah ke depan. Komitmen tersebut bukan hanya sekadar retorika saja, tetapi harus diikuti dengan langkah nyata. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah mendirikan bank syariah BUMN dan memperkuat permodalan—terutama bagi bank syariah yang modalnya masih minim. Pendirian bank syariah BUMN bisa dilakukan dengan cara mendirikan bank baru BUMN syariah atau dengan mengkonversi bank BUMN menjadi bank syariah.
Kedua, perbaikan kualitas SDM. Masa depan industri perbankan syariah sangat bergantung pada pemenuhan SDM, baik secara kualitas maupun kuantitas. Fakta di lapangan menyebutkan, setiap tahunnya industri perbankan syariah membutuhkan SDM kurang lebih 11.000 sementara lembaga pendidikan saat ini hanya mampu memasok SDM sekitar 3.750 per tahun. Di sini terjadi ketimpangan antara permintaan pasar dengan SDM yang tersedia.
 Akhirnya, untuk memenuhi SDM sebesar 11.000 itu dilakukan secara instan dengan cara memberikan pelatihan singkat kepada SDM konvensional dan kemudian disalurkan ke industri perbankan syariah. Untuk mencetak SDM yang berkualitas tentu diperlukan dukungan dari dunia pendidikan untuk membuka lebih banyak lagi program atau jurusan ekonomi dan perbankan syariah sehingga ketimpangan SDM ini dapat teratasi.
Ketiga,meningkatkan pelayanan. Pelayanan prima perbankan syariah perlu ditingkatkan lagi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat luas sehingga pada gilirannya mampu memengaruhi masyarakat lain untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Layanan prima (service excellence) ini dapat dilakukan dengan menyediakan lebih banyak lagi layanan ATM, internet banking, dan memperluas jaringan kantor sehingga dapat dijangkau masyarakat dengan mudah.
Keempat, sosialisasi dan edukasi. Keengganan masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah salah satu penyebabnya adalah karena minimnya pengetahuan mereka tentang keuangan syariah. Untuk meningkatkan pengetahuan tersebut, dibutuhkan sosialisasi dan edukasi secara maksimal dan berkesinambungan. Hal demikian senada dengan pendapat Ketua OJK Muliaman D Hadad ketika memberikan pengantar buku Dua Dekade Keuangan Syariah, karya Anif Punto Utomo dkk. Menurutnya, perlu sosialisasi yang lebih gencar dan dilakukan terus-menerus agar awareness masyarakat terbangun secara kuat.
Banyak pihak yang bisa berperan dalam program ini. Misalnya, melibatkan ulama dan pesantrennya, organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulma (NU)-Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi yang concern mempromosikan ekonomi syariah seperti Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Forum Silaturrahmi Studi Ekonomi Islam (Fossei).