Mohon tunggu...
wardah jm
wardah jm Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MAHASISWA

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Peran Kyai dalam Membentuk Generasi Unggul di Pesantren

21 September 2024   23:05 Diperbarui: 21 September 2024   23:08 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pada masa kolonial, pendidikan pesantren sudah ada. Organisasi ini melawan penetrasi kolonialisme, yang pada akhirnya menggunakan strategi yang eksklusif atau tertutup untuk menghindari masalah sosial sampai periode kemerdekaan. Akibatnya, pesantren akan menjadi jauh dari.masalah sosial dan kurang diperhatikan secara.nasional.

Kedudukan kyai sebagai pilar utama pesantren Ini berdasarkan fakta bahwa kyai di dalam. bangunan. pesantren. adalah satu-satunya orang yang memiliki otoritas untuk menafsirkan agama dan berfungsi sebagai representasi dari keyakinan agama secara keseluruhan. Kyai dianggap sebagai sumber kasih sayang Tuhan kepada para santri dan orang-orang di sekitar mereka. Dianggap sebagai puncak karir seorang santri, posisi kyai membantu mobilitas sosial. Faktor kedua didukung oleh fakta bahwa kyai selalu dihormati di masyarakat pesantren. Di tengah rumahnya, memiliki otoritas yang tinggi. Pola kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat di sekitar pesantren dipengaruhi oleh perspektif hidup kyai. Kyai berperan sebagai aktor dalam proses peningkatan keislaman masyarakat yang inklusif dalam kerangka ini.

Sebagaimana dijelaskan oleh Steve Fuller, tiga tantangan yang dihadapi pesantren di era global adalah bahwa mereka menghadapi tantangan tidak hanya dari perspektif domestik tetapi juga dari perspektif global; yang pertama adalah dominan Barat dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik, dan pendidikan, dan yang. kedua adalah sebagai desain pengembangan pendidikan. Untuk dapat sejajar dengan dunia barat, komunitas,. khususnya dinegara-negara berkembang, harus mempelajari alasan di balik hegemoni Barat di bidang ini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.Kedua, mengutamakan budaya. Inklusivitas dalam situasi ini berusaha mencari inti dari budaya tanpa terjebak didalam etnosentrisme dan xenofobi. Di era globalisasi, inklusi dapat menyebabkan tribalisme. yang. terbatas, yang pada akhirnya berdampak negatif pada komunitas secara keseluruhan. Ketiga, proses globalisasi,.. yang dapat mengubah budaya.

Sejarah budaya Islam sebagai doktrin yang inklusif dimulai dengan deklarasi Nabi. Muhammad. SAW. di Madinah, atau Piagam Madinah. Dua pilar keyakinan Islam yang masuk ke dalam Piagam Madinah adalah sebagai berikut: pertama, semua orang yang beragama Islam adalah satu umat, tanpa memandang bangsa mereka. Kedua, hubungan antara orang Islam dan individu yang tidak beragama Islam didasarkan pada gagasan ini: berhubungan baik dengan orang di sekitarnya, membantu satu sama lain dalam konfrontasi dengan musuh mereka, membela mereka yang teraniaya, memberi nasihat satu sama lain, dan melindungi kebebasan beragama.

Dilihat Dilihat dari deskripsi konseptual sebelumnya, seorang Muslim sejati tidak diskriminasi, menjelekkan, atau memandang rendah keanekaragaman dan perbedaan sebagai dasar hak asasi manusia. Dalam hal ini, tidak ada masalah legal dalam hal kesetaraan antara Muslim dan non-Muslim.. Dalam tradisi Islam, istilah "dzimmi" digunakan untuk merujuk pada individu yang tidak beragama Islam yang tinggal di negara Islam.

Tiga kategori kyai berbeda dalam menerima program untuk meningkatkan masyarakat. Yang pertama adalah kyai yang menerimanya dengan hati-hati; yang kedua adalah kyai yang hanya cukup responsif; dan yang ketiga adalah kyai yang bukan saja menerima program tetapi bahkan berpikir tentang memasukkannya ke dalam sistem manajemen pesantren mereka. Dua kelompok kyai yang terakhir memiliki pemahaman yang menonjol dalam program pengembangan masyarakat, sedangkan kyai pertama membutuhkan pendekatan khusus karena biasanya sulit untuk menerima ide baru.

Transformasi sosial, identitas, keterbukaan, dan diversitas budaya adalah topik diskusi dalam pendidikan tentang inklusivisme pesantren. Sebagai bagian dari pendidikan, identitas mengatakan bahwa siswa (santri) dan pendidik (kyai). adalah orang atau grup yang mewakili kultur tertentu dalam masyarakat. Pribadi dan kelompok masyarakat memiliki identitas, yang memengaruhi cara Dalam interaksi antar budaya, mereka mempengaruhi dan berhubungan satu sama lain. Karena itu, identitas tersebut diasah dalam pendidikan Islam yang inklusif melalui interaksi dengan budaya internal dan budaya eksternal. Akibatnya, Pendidikan Islam inklusif di pesantren harus mempertimbangkan budaya atau identitas lokal.

Diversitas pendidikan tidak bias atau dielakkan masyarakat memiliki banyak kelompok atau individu yang berasal dari berbagai budaya. Diversitas budaya dapat ditemukan dalam santri dan kyai yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, pengkayaan budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya lokal, nasional, dan global. Oleh karena itu, pendidikan Islam inklusif adalah model pendidikan yang mengutamakan keragaman daripada satu model pendidikan monokultur. Pendidikan dapat mencapai diversitas budaya ini jika institusi pendidikan mengakui keragaman, bersikap terbuka, dan memberi ruang kepada semua perbedaan untuk terlibat dalam proses pendidikan.

Banks menciptakan lima dimensi untuk pendidikan inklusif dan kurikulum yang diperlukan. Pertama, integrasi konten dalam kurikulum, yang melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan dengan tujuan utama untuk menghilangkan prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan, yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, penguasaan pengetahuan, yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia, juga dikenal sebagai "pedagogik kesetaraan manusia", memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap unsur yang berbeda. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah. Tujuan kelima dari pendidikan multikultur adalah agar sekolah menjadi bagian dari transformasi sosial, atau pengentas sosial, dari struktur masyarakat yang terkait erat dengan struktur yang menganut prinsip keadilan. Pesantren. memungkinkan inklusi dalam kurikulum, prosedur, dan evaluasi pendidikan Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun