Mohon tunggu...
Wardah Fajri
Wardah Fajri Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Pengembara Penggerak Komunitas

Community Development -Founder/Creator- Social Media Strategist @wawaraji I www.wawaraji.com Bismillah. Menulis, berjejaring, mengharap berkah menjemput rejeki. Blogger yang menjajaki impian menulis buku sendiri, setelah sejak 2003 menjadi pewarta (media cetak&online), menulis apa saja tertarik dengan dunia perempuan, keluarga, pendidikan, kesehatan, film, musik, modest fashion/fashion muslim, lifestyle, kuliner dan wisata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

KRL--Setelah Gerbong Khusus Wanita Mungkin Perlu Gerbong Keluarga

31 Agustus 2014   18:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:59 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi pengguna KRL (Tanah Abang-Serpong) pemula seperti saya, awalnya berpikir gerbong khusus wanita di bagian paling depan dan paling belakang rangkaian kereta bisa memudahkan penumpang mendapat tempat lebih nyaman. Nyatanya, beberapa kali sengaja naik ke gerbong khusus wanita ini pengalaman tak menyenangkan justru didapatkan.

Penumpang KRL wanita ternyata lebih nekat. Saya bisa paham sih, kebanyakan dari mereka adalah kaum ibu bekerja, yang sama seperti saya pasti ingin segera pulang menemui anak yang sudah menunggu di rumah lantaran ditinggal seharian. Alhasil, apa pun dilakukan, berdesakan, memaksa masuk, berteriak menolak penumpang lain yang nekat masuk, atau sebagian ada yang acuh seakan memikirkan diri sendiri tak peduli ada perempuan lain yang butuh dibantu naik gerbong. Beda dengan gerbong umum yang kalau ada perempuan kesulitan naik gerbong, tangan para pria siap menarik tangan wanita yang ingin naik meski harus berdesakan. Kalau soal memberi tempat duduk untuk ibu berumur atau ibu dengan anak bahkan ibu hamil, rasanya semua gerbong sama saja perilaku penumpangnya, acuh tak acuh. Kalau tak ditegur, sebagian orang ada yang cuek saja duduk anteng meski ada orang lain yang lebih butuh kursi.

Nah, itu soal gerbong khusus wanita. Saya punya pengalaman baru, sebenarnya bukan hal baru sih karena beberapa kali sudah menyaksikan ini. Namun yang terjadi kemarin, Kamis, 28/8/2014, sekitar pukul 7 malam membuat saya terpancing menulis ini.

Begitu tiba di stasiun Tanah Abang, kereta di jalur 6 arah Serpong sudah penuh diisi penumpang. Kereta masih belum diberangkatkan, masih bisa mengejarnyya pikir saya sambil setengah berlari takut ketinggalan kereta. Saya ingin segera pulang, harus naik kereta itu, supaya bisa cepat bertemu si kecil mungil yang belakangan lebih sering ngambek karena ibunya jarang terlihat di rumah.

Saya masuk ke gerbong khusus wanita karena itu yang paling dekat dengan posisi saya. Sudahlah, mau tak mau di gerbong wanita daripada ketinggalan kereta. Sebenarnya saya sudah berikrar tidak mau naik gerbong wanita, sebisa mungkin saya hindari. Kali ini, saya pasrah saja.

Kondisi di gerbong khusus wanita penuh tapi masih manusiawi. Sudah menjadi kebiasaan saya lihat sekeliling. Saya bukan tipe penumpang kereta yang asik sendiri dengan gadget, seperti yang sering saya lihat kebanyakan penumpang begitu dapat posisi meski terjepit di dalam gerbong masih sempat aktifkan ponsel pintarnya, main games atau berkirim pesan instan, atau bahkan menelepon. Ada juga yang asik mendengarkan musik sambil kepalanya manggut-manggut. Sementara saya, asik memerhatikan sekeliling, barangkali ada yang saya kenal. Lumayan kan bisa bertegur sapa, silaturahim di gerbong kereta, memanfaatkan waktu seadanya untuk sekadar berbagi kabar. Pernah saya mengalaminya, bertemu teman sekantor yang jarang ngobrol karena sibuk masing-masing, di gerbong KRL kami bisa saling cerita soal rumah.

Kebiasaan memerhatikan sekeliling lah yang membuat saya memahami, semalam, ada keluarga kecil yang terburu-buru naik kereta. Sama seperti saya, yang penting cepat masuk ke gerbong sebelum kereta berangkat. Mereka adalah sepasang suami istri dengan satu anak batita, saya kira usia anak itu sama dengan anak saya, 1,5 tahun. Anak yang saya lihat kebingungan melihat begitu banyak orang berjarak hanya sejengkal tangan dari matanya.

Saya melihat anak itu digendong ayahnya. Beberapa orang bertanya-tanya sambil berbisik-bisik kenapa ada pria masuk gerbong wanita. Rupanya, sang anak mencari ibunya dengan wajah yang saya lihat sendiri setengah meringis untung saja tidak menangis. Makin tak tahan hati saya melihat batita menangis mencari ibunya yang tterpisah di gerbong kereta.

Saya tidak tahu persis bagaimana mereka bisa terpisah. Analisis saya, sang ibu sedang membawa tas ransel besar saat terburu-buru mengejar naik gerbong kereta terdekatnya yakni gerbong khusus wanita, sementara sang ayah yang sedang dapat giliran menggendong anak juga ikut buru-buru naik, sambil membawa anaknya masuk ke gerbong terpisah.

Tak lama sang ayah menggendong anak mencari sang ibu. Untung ada petugas yang membantu. "Yang mana pak istrinya? Ini, atau Ini," katanya sambil menunjuk. Setelah melihat-lihat di antara perempuan yang berdesakan akhirnya terjadilah proses transfer batita. Kembali lah sang ayah ke gerbong bukan untuk wanita di sebelahnya.

Ah, saya jadi berpikir. Apa perlu gerbong keluarga, di sebelah gerbong wanita. Supaya tak sulit bagi suami istri dengan anak bayi naik kereta. Beruntung kejadian semalam itu hanya memisahkan ayah ibu di satu gerbong berdekatan. Apa jadinya kalau kereta terlalu penuh penumpangnya dan membuat mereka terpisah gerbong berjauhan demi sekadar naik supaya tak ketinggalan kereta karena mengejar waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun