Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) 2015 yang diadakan oleh Pokja AMPL (Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) dan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas berlangsung beda. Konferensi dua tahunan ini, menghadirkan penyanyi Ikke Nurjanah. Mungkin sekilas terdengar biasa saja. Apa yang beda hadirnya artis di acara pemerintah? Biasa saja bukan? Jawabnya tidak, kali ini beda.
Beda, karena Ikke Nurjanah yang “menawarkan” diri ikut berkontribusi dalam konferensi yang menghadirkan 16 inspirator, para pegiat sanitasi bahkan bisa dibilang pahlawan sanitasi dan air minum dari berbagai daerah di Indonesia. Para inspirator berkumpul di Jakarta, memberikan paparan singkat, maksimal 10 menit saja, berbagi cerita dan pengalaman, praktik nyata dan kontribusi luar biasa dari para pegiatan sanitasi di Indonesia, untuk satu tujuan sama, mengejar target akses universal sanitasi dan air minum layak di seluruh penjuru negeri ini.
Ikke bisa dibilang menjadi bonus inspirator di KSAN 2015. Ikke hadir dengan kebisaannya, bernyanyi, di penghujung acara KSAN 2015 di Pusat Perfilman Usmar Ismail Jakarta, sehari setelah hari pahlawan, 11 November 2015. Lagu daerah Jambi dinyanyikannya syahdu dan ceria, benar-benar menghibur setelah seharian mendengarkan kisah inspiratif yang membuat siapa pun audiensnya akan berdecak kagum. Sebelum lagu kedua, “Terlena” yang identik sekali dengan sosok Ikke Nurjanah, pembawa acara, Timothy Marbun, mengajaknya berbincang.
Pertanyaan utama Timothy adalah apa yang membuatnya ikut terlibat dalam KSAN 2015? Ikke menjawab jujur apa adanya di hadapan pejabat pemerintah pusat dan daerah, juga audiens KSAN 2015 yang melakan live streaming dari beberapa daerah seperti Semarang, bahkan dari London.
Ikke menjawabnya dengan bercerita, bahwa ia punya pengalaman traumatik di masa kecilnya dulu, sewaktu tinggal di kawasan Pademangan, Jakarta. Dengan jujurnya, seorang Ikke yang berhasil membangun reputasinya sebagai pedangdut berkepribadian baik bersuara merdu, bercerita di hadapan banyak orang. Ikke pernah tinggal di kawasan yang kebiasaan warganya buang air di sungai dan lingkungan yang tidak bersih.
Sanitasi buruk membuat seorang Ikke trauma dengan pengalaman masa kecilnya. Pengalaman yang membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang peduli kebersihan, karena tak ingin mengalami lagi tinggal atau berada di lingkungan kotor dan jorok.
Puluhan tahun berlalu, Ikke yang karena profesinya kerap berkeliling Indonesia, bernyanyi di berbagai kabupaten kota, ternyata masih menemukan masalah kebersihan yang sama. Tidak adanya toilet, minimnya perawatan toilet yang tersedia sebagai fasilitas publik di beberapa tempat, kebersihan lingkungan di hotel atau tempat-tempat yang dikunjunginya, membuatnya teringat pada traumanya. Apa yang dialaminya sewaktu kecil dulu, kenapa masih dialami sekarang? Kenapa masih ada saja toilet tak terawat, kenapa masih susah menemukan tempat buang air kecil dan besar yang layak dan bersih terawat? Pertanyaan yang mengusik Ikke sehingga akhirnya ia mencari tahu dan menawarkan diri terlibat dalam kegiatan KSAN 2015 sebagai bentuk kepedulian dan keinginannya berkontribusi mengubah keadaan bahkan perilaku masyarakat.
“Perjalanan dari bandara ke tempat tujuan bisa memakan waktu 4-5 jam, dan pastinya butuh buang air kecil. Saya sering menemui toilet yang sebenarnya fasilitasnya bagus tapi tidak dirawat. Atau tidak ada toilet sama sekali kecuali di Pom Bensin,” katanya bercerita di atas panggung Knowledge Day KSAN 2015 yang mengangkat tema Mencipta Masa Depan Sanitasi dan Air Minum.
Trauma yang diolahnya menjadi kepedulian, mengantarkan Ikke kepada penyelenggara KSAN 2015. “Manajemen saya mencari tahu soal isu kebersihan ini, dan ada teman juga di Pokja AMPL, lalu saya datang dengan maksud komplain, mencari tahu apa yang jadi perhatian saya soal kebersihan, toilet,” katanya.
Kepedulian yang direspons cepat dan positif oleh pihak penyelenggara KSAN 2015 pun akhirnya membuat Ikke tampil bernyanyi dan berbagi pengalaman. Bahkan disebut-sebut di penutupan KSAN 2015, Ikke menjadi Duta Sanitasi atas dasar kerelaan tanpa bayaran.
Penasaran, saya pun konfirmasi langsung kepada yang berkepentingan di akhir acara setelah menunggu beberapa menit saja.
“Soal duta sanitasi baiknya tanya ke Pokja, karena saya niatnya hanya membantu,” katanya sambil tersenyum ramah.
Ikke mengaku hanya terpanggil untuk mendukung program sanitasi, berlandaskan pengalaman pribadinya, pengalaman traumatik masa kecil, yang tak ingin dialami lagi oleh penerusnya. Ikke dan manajemennya pun mengaku terbuka untuk mendukung program sanitasi di pusat atau daerah, bukan sekadar hadir menghibur bernyanyi di kegiatan sanitasi, namun terlibat dalam aktivitasi sanitasi apa pun.
“Duta itu kan hanya simbolis. Saya hanya ingin melakukan sesuatu, hal kecil apa yang bisa saya lakukan, daripada hanya marah-marah,” kata Ikke yang kerap mencetuskan keluhannya soal toilet tak layak di medsos.
Saat ditanya mengenai rencana langkah selanjutnya apa yang ingin Ikke lakukan sebagai bentuk kontribusinya untuk mengatasi masalah sanitasi, Ikke mengatakan kalau setiap usai bernyanyi dia biasanya menyerukan agar penonton menjaga keamanan dan ketertiban, ia berencana akan menambahkan seruan baru, jaga kebersihan, buang sampah pada tempatnya atau kalau perlu bawa pulang sampah jangan tersisa di area pertunjukkan. Langkah lainnya, Ikke menyebarkan kepedulian peduli sanitasi lewat jejaring yang ia punya, fans club dan komunitasnya yakni Kommunike.
Jadi Influencer
Kalau bukan duta, lantas apa sebutannya meski sebenarnya Ikke tak butuh sebutan apa pun untuk menunjukkan dukungannya?
Influencer kemudian menjadi kata yang tercetus, bukan oleh Ikke tapi oleh Eko Wiji Purwanto, Penyelia Program Knowledge Day KSAN 2015 sekaligus Sekretariat Pokja AMPL Kementerian PPN/Bappenas. Pernyataan Eko ini sekaligus konfirmasi untuk saya juga Ikke.
“Ikke tidak cocok jadi duta, tapi lebih kepada influencer,” kata Eko sambil berbincang dengan Ikke.
Harapannya, kata Eko, Ikke bisa menjadi influencer untuk teman-teman sesama artis untuk lebih peduli sanitasi. Ikke, lanjut Eko, punya personality dan expertise, yang kemudian bisa berkolaborasi untuk berkontribusi terhadap program sanitasi dengan bermitra bersama sumber dana dan pihak berwenang yang terkait dengan berbagai program sanitasi dan air minum.
KSAN 2015 memang beda. Ketika seluruh stakeholder sanitasi dan air minum dipertemukan dengan kesamaan tujuan, menyampaikan impian hingga kontribusi nyatanya dengan ketulusan, maka terbukalah jalan untuk mencapai akses universal yang menjadi ambisi bersama. Hingga akhirnya, 100 persen akses sanitasi bisa tercapai, tidak ada lagi masyarakat yang rumahnya tidak memiliki jamban, tidak ada lagi masyarakat yang BAB sembarangan, rumah kumuh menjadi hilang sama sekali, dan akses air minum mencapai 100 persen sehingga tak ada lagi warga yang harus berjalan kaki 3 km jauhnya untuk mendapatkan seember air atau membayar Rp 100.000 untuk kebutuhan air minum 1-2 minggu.
#KSAN 2015, satu dari sekian catatan.
Artikel sebelumnya: http://goo.gl/BGrsHJ
Sumber foto utama: Twitter @pokjaAMPL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H