“Soal duta sanitasi baiknya tanya ke Pokja, karena saya niatnya hanya membantu,” katanya sambil tersenyum ramah.
Ikke mengaku hanya terpanggil untuk mendukung program sanitasi, berlandaskan pengalaman pribadinya, pengalaman traumatik masa kecil, yang tak ingin dialami lagi oleh penerusnya. Ikke dan manajemennya pun mengaku terbuka untuk mendukung program sanitasi di pusat atau daerah, bukan sekadar hadir menghibur bernyanyi di kegiatan sanitasi, namun terlibat dalam aktivitasi sanitasi apa pun.
“Duta itu kan hanya simbolis. Saya hanya ingin melakukan sesuatu, hal kecil apa yang bisa saya lakukan, daripada hanya marah-marah,” kata Ikke yang kerap mencetuskan keluhannya soal toilet tak layak di medsos.
Saat ditanya mengenai rencana langkah selanjutnya apa yang ingin Ikke lakukan sebagai bentuk kontribusinya untuk mengatasi masalah sanitasi, Ikke mengatakan kalau setiap usai bernyanyi dia biasanya menyerukan agar penonton menjaga keamanan dan ketertiban, ia berencana akan menambahkan seruan baru, jaga kebersihan, buang sampah pada tempatnya atau kalau perlu bawa pulang sampah jangan tersisa di area pertunjukkan. Langkah lainnya, Ikke menyebarkan kepedulian peduli sanitasi lewat jejaring yang ia punya, fans club dan komunitasnya yakni Kommunike.
Jadi Influencer
Kalau bukan duta, lantas apa sebutannya meski sebenarnya Ikke tak butuh sebutan apa pun untuk menunjukkan dukungannya?
Influencer kemudian menjadi kata yang tercetus, bukan oleh Ikke tapi oleh Eko Wiji Purwanto, Penyelia Program Knowledge Day KSAN 2015 sekaligus Sekretariat Pokja AMPL Kementerian PPN/Bappenas. Pernyataan Eko ini sekaligus konfirmasi untuk saya juga Ikke.
“Ikke tidak cocok jadi duta, tapi lebih kepada influencer,” kata Eko sambil berbincang dengan Ikke.
Harapannya, kata Eko, Ikke bisa menjadi influencer untuk teman-teman sesama artis untuk lebih peduli sanitasi. Ikke, lanjut Eko, punya personality dan expertise, yang kemudian bisa berkolaborasi untuk berkontribusi terhadap program sanitasi dengan bermitra bersama sumber dana dan pihak berwenang yang terkait dengan berbagai program sanitasi dan air minum.
KSAN 2015 memang beda. Ketika seluruh stakeholder sanitasi dan air minum dipertemukan dengan kesamaan tujuan, menyampaikan impian hingga kontribusi nyatanya dengan ketulusan, maka terbukalah jalan untuk mencapai akses universal yang menjadi ambisi bersama. Hingga akhirnya, 100 persen akses sanitasi bisa tercapai, tidak ada lagi masyarakat yang rumahnya tidak memiliki jamban, tidak ada lagi masyarakat yang BAB sembarangan, rumah kumuh menjadi hilang sama sekali, dan akses air minum mencapai 100 persen sehingga tak ada lagi warga yang harus berjalan kaki 3 km jauhnya untuk mendapatkan seember air atau membayar Rp 100.000 untuk kebutuhan air minum 1-2 minggu.
#KSAN 2015, satu dari sekian catatan.