Tarawih/Dok Pri
“Bersihkan aula”
“Cuci karpetnya”
“Rapikan barang-barang”
Perintah-perintah ibuku ini akrab sekali di telinga. Perintah yang selalu keluar setiap kali menyambut Ramadhan. Yang paling utama adalah membersihkan aula
Aula di rumah orangtuaku sudah beberapa kali berganti rupa. Sejak kulahir, selalu ada tempat untuk umat beribadah. Dulu, aula milik keluarga dan dikelola sebagian dengan dana warga ini lebih luas. Kuingat betul saat masih usia TK, dipangku ibu, aku menjadi saksi para murid yang mengaji dengan ibuku sebagai pengajar tunggalnya. Membaca Al Quran, itulah yang anak-anak belia hingga remaja pelajari di aula bersama ibuku. Sampai aku remaja masih terjaga suasananya hingga perlahan mengaji tak lagi diminati. Meski diganti beberapa kali metodenya perlahan aula sepi dari anak-anak belia yang mau tahu cara baca AlQuran
Pernah aku bangkitkan kembali kenangan lama dengan membuka sanggar membaca, Rumah Ilmu atau RUMI jika disingkat namanya. Tahun 2008, aku ingat betul bagaimana aku bersama suami menggagas sanggar baca untuk anak belia hingga remaja
Kakak Wawa, begitu anak-anak didik memanggilku. Berbagi ilmu yang kubisa. Berbagi semangat memperbaiki akhlak anak belia.Berbagi motivasi berharap anak-anak kampung halamanku ini punya impian untuk masa depannya. Belajar mengaji tak ketinggalan menjadi menu utamanya.
Setahun dua tahun kutakbisa mempertahankan RUMI. Kerja dan keluarga kecilku membuatku tak mampu berbagi waktu dan perhatian untuk anak-anak yang haus ilmu, wawasan, dan perhatian.RUMI tenggelam dengan sendirinya. Namun, satu hal yang tak pernah mati di aula, kegiatan saban malam bulan puasa, tarawih khusus para wanita. Ya, sejak aku lahir bahkan jauh sebelumnya.
Aula yang sudah berubah bentuknya ini selalu menjadi pilihan tempat bertarawih warga berkelamin wanita. Rasa-rasanya, tak banyak tempat ibadah berbentuk aula, bukan masjid atau mushalla, yang menyediakan tempat ibadah Tarawih khusus untuk perempuan.
Tempat ini, aula ini, adalah sejarah keluarga juga warga di tempat lahirku dan kampung halaman orangtua. Tarawih terasa sangat dekat, tak berjarak, karena sejak kecil aku melakukannya setiap malam Ramadhan di aula milik orangtua. Dulu, tarawih terasa syahdu dengan banyaknya makmum, semua perempuan dengan ibuku sebagai imam. Makmumnya beragam, dari para orang tua, remaja, hingga anak-anak yang kadang kelelahan sembahyang dan dikalahkan dengan "kemalasan" dengan rebahan saat makmum lainnya semangat menuntaskan shalatnya. "Kenakalan" khas anak-anak yang sedang belajar shalat terasa saat Tarawih, dulu kala. Beranjak remaja dan dewasa, tarawih di aula rumah terasa membosankan, barangkali darah muda yang haus pengalaman menjadi pemicu rasa bosan. Ingin sekali aku merasakan tarawih di masjid atau di tempat lain, jauh dari rumah. Tapi tak ada alasan kuat untuk bisa melakukannya, dulu kala