Mohon tunggu...
Wardah Roudhotina
Wardah Roudhotina Mohon Tunggu... -

Psychology'13 Universitas Islam Indonesia - "Tidak ada yang 100% Sempurna, namun tidak ada salahnya bila kita mengusahakan 100% (maksimal)"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Indonesia Pecinta Murah (?)"

22 September 2013   07:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:34 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang ada di pikiran saudara saat kita mulai membicarakan kata “Murah”? Harga Sembako naik? Harga BBM naik? Biaya SPP yang tidak sesuai? Atau yang mungkin lagi menjadi topik pembicaraan terhangat, yaitu mengenai Mobil Murah? Ya.. Semua jelas berkaitan.

Dan memang inilah fakta dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat kita di Indonesia. Layaknya langganan koran, topik “Si Murah” ini bisa muncul dalam pemberitaan beberapa kali dalam 1 bulan. Tidak hanya di satu daerah, tapi bisa bergantian dari Sabang hingga Merauke.

Tapi, timbul satu pertanyaan mengenai “Si Murah” ini. Apa yang menyebabkan keadaan di Indonesia saat ini selalu menuntut segala sesuatunya itu eksis dengan harga murah?

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Namun sayangnya, pengembangan di dalam SDM (Sumber Daya Manusia) masih sangat kurang. Apa mau dikata? Lambat laut timbul istilah “Rakyat pun merugi, rakyat pun sengsara, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin..”

Menurut informasi dari sebuah situs (kompasiana.com), Indonesia di tahun 2013 saat ini telah memasuki krisis moneter. Sama dengan krisis moneter yang terjadi 1997-1998 (Indonesia mengalami krisis yang paling parah diantara Korea Selatan, Thailand dan Philipina).

Ada beberapa hal yang sekiranya dapat dijadikan akar/asal muasal mengapa keadaan rakyat di Indonesia selalu menuntut harga kebutuhan hidup yang murah namun minta juga terpenuhi. Diantaranya adalah :

· Utang Indonesia yang terus membengkak (± 2000 triliun lebih).  ( Kompasiana.com )

· Ketidakadilan aparat negara dalam penegakan hukum

· Kurangnya kedewasaan pola pikir masyarakat Indonesia

· Kurangnya tingkat keimanan seseorang ( kurangnya rasa bersyukur terhadap Tuhan)

· Dll.

Sangat banyak akar-akar permasalahan yang barangkali kita melihatnya jauh, namun rupanya justru berpengaruh. Sehingga, apabila berkaca pada permasalahan yang ada saat ini, julukan “Indonesia Pecinta Murah (?)” menjadi sebuah kalimat yang cukup layak.

Dalam hal ini, kurang valid rasanya bila kita hanya berkaca pada berita-berita di media cetak/elekronik, pada isu-isu yang menjadi jembatan nusantara, ataupun pada pemikiran-pemikiran beberapa ahli mengenai keadaan Indonesia yang semakin sulit dengan penuntutan kata “Murah” demi kelangsungan hidup.

Saya mencoba untuk melihat beberapa pandangan yang terkait dengan kasus ini melalui 3 kacamata yang berbeda. Hari Sabtu lalu (21/09), saya mencoba untuk mewawancarai 3 orang yang menurut saya cukup mewakili pandangan masyarakat di Indonesia. Mereka bertiga antara lain :

Yoga Ramamadhani (Mahasiswa Baru Pendidikan STAN), Slamet Santoso, SE (Pendidik di SMP Hikmah Yapis Jayapura, Papua), dan Ngatijo (Petugas Kebersihan di Universitas Islam Indonesia).

Apa saja pendapat mereka mengenai hal tersebut?

1. Yoga Ramadhani

“Saya sangat setuju bila dikatakan Indonesia sebagai pecinta murah. Kenapa? Sebagai negara berkembang dengan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, tentu masyarakat mencari cara untuk mengurangi pengeluaran setiap bulannya. Dimana kadangkala masyarakat di Indonesia saat ini mencari segala sesuatu yang murah, namun dengan kualitas terbaik. Namun untuk saya sendiri, saya bukan termasuk orang yang selalu menuntut murah. Saya realistis, ada harga ada kualitas. Semua tergantung kualitas barang dan jasanya. Nah ada lagi orang-orang yang meminta murah, tapi lambat laun jadi kelewatan. Mereka sadar kalau mereka kelewatan, tapi bagi mereka ya mau bagaimana lagi? Pendapatan mereka tak sanggup untuk memenuhi semua itu secara layak. Peran pemerintah sangat kurang, sometimes mau menolong kalau ada mau nya...”

2. Slamet Santoso, SE

“Indonesia pecinta murah? Ya setuju, memang begitu kenyataannya. Dimana-mana membeli suatu produk pasti menawar harga barang. Ada banyak aspek bila ditanya akarnya. Beberapa contoh misalnya latar belakang pendidikan, keadaan perekonomian, atau juga aksi-aksi provokatif dari pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan kestabilan keamanan negara kita. Nah, sudah tahu kan kalau beberapa latar belakang yang seperti ini sangat merugikan. Kenapa masyarakat menambah kesusahan itu dengan melakukan tindakan kriminal? Yang paling terkait adalah membuat barang oplosan yang nantinya akan menggunakan embel-embel murah. Sudah tahu merugikan, masih dilakukan. Mau dibilang keterpaksaan? Tidak bisa! Itu tidak bisa dibenarkan.  Itu perilaku menyimpang dalam kehidupan masyarakat kita. Masih banyak cara lain yang bisa kita lakukan. Memang disayangkan, pola pikir yang belum dewasa cenderung kurang cerdas. Rezeki Allah itu Maha Luas, tidak sepantasnya untuk berpangku tangan. Masih banyak cara terhormat lainnya yang bisa dilakukan, kebanyakan ya cuma pasrah sama nasib. Saat BBM naik, pemerintah tidak asal-asalan. Tujuannya ya untuk kesejahteraan rakyat juga. BBM naik otomatis harga naik, nah masyarakat lebih ditunut untuk kerja keras. Lihatlah Jepang yang menerapkan sistem Dumping, menjual produk dengan harga murah keluar negeri, tapi di dalam negeri sendiri dijual sangat mahal. Hasilnya? Kita liat orang-orang Jepang pemikirannnya menjadi lebih maju, lebih kerja keras dan pendewasaan akan lahir dengan sendirinya. Jadi, otomatislah kita tidak bisa menyalahkan pemerintah begitu saja, kita introspeksi diri kita saja. Berpikir positif. Semua untuk kepentingan rakyat.”

3. Ngatijo

“Kita memang meminta murah. Kasihan kalau harus mahal dan mau dituntut untuk kerja keras, apalagi dalam kehidupan masyarakat ini. Kita sebenarnya tidak minta mahal/murah, tapi pas lah. Kalau untuk makan, di Jogja itu standar kalau kerja bulanan ya sekitar Rp 700.000,00. Itu kalau kerjanya seperti di pabrik dan rumah tangga, kalau harian rata-rata Rp 50.000,00 untuk tukang kayu, tukang batu. Sedangkan kalau tenaga mulai dari Rp 35.000,00 – 40.000,00. Itu belum untuk kebutuhan sehari-hari. Sekarang kalau ditanya siapa yang mau dipersalahkan juga susah, mau salahkan pemerintah ya gimana? mau salahkan masyarakat ya pusatnya dimana? Eh tahu-tahu sudah mahal. Kita orang kecil, jadi tahunya belakangan dan cuma ikut-ikut. Kalau soal kenaikan BBM, ya mau gimana lagi? Mau demo juga percuma. Kalau BBM sudah naik kayak gini ya memang susah. Padahal itu yang seharusnya tidak naik, karena kalau makan atau kebutuhan sehari-hari, semisal naik juga kan nanti bakal turun lagi. Jadi masih bisa dijangkau. Jadi kita itu sebenarnya tidak mengharapkan yang macam-macam. Paling nggak kalau ada apa-apa ya dimusyawarahkan lah, kalau mau demo itu yang kayak mahasiswa ya demo di mana gitu. Kita kan masyarakat lagi-lagi cuma ngikut. Dan kita memang harus tetap bekerja, kalau tidak bekerja mau jadi apa.”

3 orang yang berbeda dengan 3 pandangan yang berbeda. Sangat menarik! Kita bisa melihat bagaimana pandangan yang berbeda satu sama lain tersebut cukup mempengaruhi permasalahan yang ada saat ini.

Apa kesimpulan yang bisa kita ambil dari pembahasan ini?

Pada dasarnya, rakyat Indonesia menginginkan kestabilan yang ada. Bukan sesuatu yang terlalu murah, bukan juga sesuatu yang terikat mahal. Bukan sekedar omong kosong belaka, dan bukan juga asal demo yang melibatkan banyak aspek masyarakat. Kestabilan yang harusnya dicapai Indonesia dalam perekonomian ini seharusnya menjadi bentuk instropeksi untuk diri kita masing-masing. Memang benar, baik pemerintah ataupun masyarakat tidak bisa begitu saja disalahkan, namun tidak bisa juga dimakumi. Semua sama-sama menjalankan roda kehidupan. Diluar perannya, pemerintah juga masyarakat. Mereka juga berusaha memenuhi kebutuhannya, hanya saja di dalam perannya itu mereka bertindak sebagai pengatur tingkat tinggi.

Pola pikir yang belum dewasa memang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Negara lain bisa? Kenapa kita tidak? Semua itu akan berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat untuk beberapa tahun kedepan. Selamatkan pemikiran yang cerdas itu dari pembusukan cerita-cerita yang hanya membuang-buang waktu. Agent of Change itu ada di tangan kita. Mari sama-sama belajar dan menjadi lebih baik lagi.

Merubah diri sendiri atau kau akan diubah oleh keterpurukan!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun