Perilaku bullying adalah fenomena sosial yang kompleks dan merugikan, yang tidak mengenal batasan usia. Dari anak-anak di sekolah dasar hingga dewasa di lingkungan kerja, bullying dapat terjadi di mana saja dan pada siapa saja. Dalam jurnal "Peran Guru dalam Mengatasi Perilaku Bullying," Adiyono et al. (2022) menekankan pentingnya peran guru dalam mengidentifikasi dan menangani bullying di sekolah. Mereka menjelaskan bahwa bullying tidak hanya berdampak negatif pada korban, tetapi juga pada pelaku, yang sering kali berasal dari lingkungan keluarga yang bermasalah.
Salah satu kasus yang mencolok adalah kasus Dr. Aulia Risma, seorang dokter yang menjadi korban bullying di media sosial. Kasus ini menunjukkan bahwa bullying tidak terbatasi oleh usia atau status sosial. Meskipun Dr. Aulia adalah seorang profesional yang berpendidikan tinggi, ia tetap menjadi target serangan verbal yang merendahkan. Hal ini mencerminkan bahwa bullying dapat muncul dalam bentuk cyberbullying, yang sering kali lebih sulit diatasi karena dilakukan secara anonim dan dapat menjangkau audiens yang luas.
Aulia Risma ditemukan meninggal di kosnya di Semarang pada 12 Agustus 2024. Mahasiswi PPDS Anestesi Undip itu diduga bunuh diri setelah mengalami bullying dan pemerasan di lingkungan akademik. Keluarga melaporkan kasus ini ke Polda Jawa Tengah, yang kemudian membentuk tim khusus untuk menyelidiki kejadian tersebut. Melansir Detikcom, polisi telah memeriksa 43 saksi yang terdiri dari junior, senior, teman seangkatan, hingga pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang sebelumnya melakukan investigasi internal.
Polda Jawa Tengah juga mengumpulkan berbagai bukti seperti tangkapan layar percakapan, pesan suara, serta dokumen terkait, dan memeriksa sejumlah ahli, termasuk ahli pidana, autopsi, dan psikologi. Kasus ini masih dalam proses penyelidikan, namun pada 13 September 2024, pihak Undip dan RSUP Dr.Kariadi telah mengeluarkan pernyataan permintaan maaf dan mengakui bahwa ada budaya kekerasan di lingkungan akademiknya.
Pada Jurnal "Stop Bullying dengan Pendidikan Multikultural" oleh Santa Idayana Sinaga (2022) ditekankan bahwa bullying dapat terjadi di berbagai konteks, terutama dalam masyarakat yang multikultural. Bullying tidak hanya terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal dan sosial, yang dapat memberikan dampak negatif yang signifikan pada korban baik secara psikologis maupun sosial, Jurnal ini juga menekankan pentingnya pendidikan multikultural sebagai langkah pencegahan bullying. Kemudian dalam jurnal "Perilaku Bullying Yang Pernah Dialami Mahasiswa" oleh Dian Febryana (2024) menyajikan data yang menunjukkan bahwa bullying dapat terjadi di lingkungan pendidikan tinggi, bahkan di kalangan mahasiswa. Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun mayoritas mahasiswa tidak terlibat dalam perilaku bullying, fenomena ini tetap ada dan dapat mempengaruhi kesehatan mental serta dinamika sosial di kampus.
Analisis perilaku bullying menggunakan teori-teori psikologi sosial dapat memberikan wawasan yang mendalam mengenai fenomena ini. Berikut adalah beberapa teori yang relevan:
1. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku yang mendapatkan penguatan positif akan cenderung diulang. Dalam konteks bullying, pelaku sering kali mendapatkan perhatian, pengakuan, atau status sosial yang lebih tinggi di antara teman-temannya. Penguatan ini dapat membuat perilaku bullying berlanjut, karena pelaku merasa diuntungkan dari tindakan tersebut.
2. Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory)
Teori ini menjelaskan bagaimana individu mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu. Perilaku bullying sering kali muncul dari kebutuhan untuk mempertahankan atau meningkatkan status dalam kelompok. Pelaku bullying mungkin merasa perlu untuk menunjukkan dominasi atas korban yang dianggap sebagai "out-group" untuk memperkuat identitas kelompoknya.
3. Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory)