Apa yang disampaikan Presiden Jokowi terhadap Ridwan Kamil (RK) membuatnya berubah haluan ?sehingga menyatakan tidak bersedia maju sebagai calon Gubernur atau WaGub DKI Jakarta berhadapan dengan Ahok.
Dari pernyataan RK mengandung pernyataan bersayap selain tidak mau maju di DKI, di sisi lain tersirat "untung-rugi" dari pernyataannya, jika saya berhadapan dengan Ahok maka salah satu pasti akan kalah, otomatis salah satu yang berprestasi kalah jadi nganggur, padahal kalau dirunut jika RK kalah dia bisa melanjutkan pencalonannya di Pilgub Jawa Barat tahun 2018, berarti hanya selisih satu tahun Pilgub DKI, jadi tidak ada alasan nganggur. Ada kekahwatiran RK jika kalah di DKI maka pamornya akan meredup bisa berakibat fatal di Pilgub Jawa Barat berimbas kalah juga.
Jelas sekali dalam pertemuan tersebut membicarakan membahas perhitungan politik apalagi yang akan dihadapi adalah Ahok, petahana yang paling tidak memiliki beberapa prestasi walaupun ada sedikit kekurangan namun tidak signifikan.
Jadi bukan alasan tidak enak kepada si A atau si B, karena politik itu bukan urusan perasaan tetapi urusan untung-rugi atau kalah-menang. Yang menjadi pertimbangan RK adalah sangat berat bisa menang berhadapan dengan Ahok.
Dari pihak Ahok tentu ini adalah kabar gembira, karena sebelumnya ada strategi yang dimainkan Ahok dan Teman Ahok kenapa pernyataannya selalu berubah dan berbeda, itu dikarenakan memantau kepastian RK untuk maju atau tidak.
Seandainya RK maju maka Ahok akan kolaborasi dengan PDIP tetap wakilnya si kumis Djarot. Tidak mungkin PDIP akan mengusung sendiri berhadapan dengan 2 pasangan dari pihak Ahok dan dari pihak RK, itu namanya sia-sia pasti kalah konyol.
Sebaliknya RK tidak maju maka Ahok di atas angin dalam waktu dekat dengan percaya diri Ahok akan deklarasi bersama Teman Ahok lewat jalur independen. Dengan demikian pupus harapan PDIP MENGUSUNG Ahok, hanya tinggal MENDUKUNG saja. Seandainya PDIP seperti Nasdem dengan berjiwa besar, ikhlas apa adanya "yang penting menang" dengan sukarela pasti mendukung Ahok dengan menyodori si kumis Djarot. Apabila tidak, maka PDIP akan usung sendiri, maka Ahok bebas mencari calon wakil yang lebih berbobot, atau kader partai lain atau bahkan RK akan ditarik Ahok.
Tentu dalam hal ini Presiden tidak akan ikut campur urusan PDIP dengan Ahok atau urusan Ahok memilih calon Wakil Ahok, namun apabila diminta Ahok otomatis kemungkinan besar RK yang akan disodor Presiden. Kenapa bisa? Kemarinkan masalah untung-rugi head to head dengan Ahok, kalau yang inikan masalah pasangan prestasi+prestasi (Ahok-RK).
Kemungkinan besar akan terjadi pasangan Ahok-RK dan Jokowi akan diam tidak menolaknya. Telah kita ketahui selama ini hubungan Jokowi, Ahok dan RK sangan terjalin dengan baik, baik dipemerintahan maupun secara personal, sering kita jumpai di dalam istilah "simbiosis mutualisme" hubungan satu dengan yang lain saling menguntungkan dalam artian saling menguntungkan demi bangsa dan negara.
Dari hubungan tersebut, dalam hal ini RK tidak akan menolak, karena RK akan mendapatkan keuntungan besar berupa :
1. Warga DKI akan menerima karena track record dan peluang menang sangat besar, 50% suara sudah siap dibalik celana, kaki kiri RK sudah terasa dibawah kursi wakil gubernur di balai kota. Belum tentu di Pilgub Jawa Barat bisa menang. Kalau di DKI tidak usah kampanye, sambil bobok nunggu waktu dilantik saja.