Mohon tunggu...
Wara Aziza
Wara Aziza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta

The sun will rise and we will try again

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Laporan Korban Percobaan Pemerkosaan yang Ditolak Kepolisian di Aceh

27 Oktober 2021   08:42 Diperbarui: 27 Oktober 2021   15:05 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu menurunnya kepercayaan masyarakat pada lembaga kepolisian akhir-akhir ini marak terdengar. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan masyarakat menilai kinerja kepolisian cenderung tidak serius dalam menghadapi beberapa kasus dan lalai terhadap fungsinya sendiri sebagai lembaga yang memiliki kewajiban menjamin keamanan masyarakat. Salah satu contoh kasus yang belakangan tengah viral di sosial media adalah laporan korban percobaan pemerkosaan di Aceh yang ditolak lantaran korban dan keluarga belum divaksin.

Kejadian tersebut berlangsung pada hari Senin (18/10/2021) seperti yang telah dilansir situs berita Liputan6, ketika korban SA (19), bersama keluarga dan didampingi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI LBH) Banda Aceh hendak membuat laporan di Polresta Banda Aceh namun dihadang masuk karena tidak dapat menunjukan sertifikat vaksin karena memiliki riwayat penyakit bawaan (komorbid). 

Namun, karena dua anggota LBH yang mendampingi korban membawa surat vaksin, akhirnya korban beserta keluarga dan pendamping dari YLBHI diizinkan masuk keruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Namun, lagi-lagi saat di dalam, ketika korban tidak dapat menunjukan sertifikat vaksin, laporan korban tidak dapat diproses. Tindakan petugas Polresta tersebut dinilai terlalu berlebihan oleh Qodrat selaku pendamping YLBHI dari korban, mengingat sifat pelaporan korban yang dinilai serius dan urgensi, namun tidak diindahkan oleh petugas setempat. 

Saat di SPKT, korban sempat menjelaskan kronologi percobaan pemerkosaan atas dirinya oleh seorang pria di rumahnya yang memiliki ciri tingi badan 170 cm, kulit sawo matang, memakai baju kaos hitam dan celana jeans dongker, serta memakai topi berwarna gelap kepada petugas SPKT, namun respon petugas SPKT sungguh di luar harapan. Petugas menyangkal pengakuan korban dan mengatakan hal yang dialami korban tersebut bukanlah tindakan pemerkosaan, melainkan penganiayaan.

Hal tersebut lantas membuat korban beserta keluarganya mengalami trauma dengan respon pihak kepolisian yang tak acuh dan meremehkan laporan korban. Meski pihak Polresta Aceh sempat meminta maaf langsung kepada korban dan keluarganya dengan mendatangi rumah korban dan meminta korban untuk datang kembali dan membuat laporan ulang di Polresta setelah divaksin, namun korban dan keluarga masih merasa enggan dan masih mengalami trauma akan kejadian tersebut.

Melalui kasus tersebut, dapat kita analisa bagaimana hukum dan konstitusi di negara ini berjalan. 

Didukung dengan beberapa kasus lain yang akhir-akhir ini juga sedang banyak diperbincangkan yang melibatkan institusi kepolisian di Indonesia semakin menunjukan bahwa kepolisian belum berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya. Sebagai negara konstitusi yang segala sesuatunya harus didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku, maka sudah seharusnya setiap masyarakat, juga lembaga negara berjalan sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang. 

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 15 ayat 1 dijelaskan pada poin pertama bahwa, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki wewenang untuk menerima laporan dan atau pengaduan. Namun, hal tersebut justru berbanding terbalik dengan apa yang telah dilakukan oleh Polresta Aceh kepada korban beserta keluarga pelapor tindak percobaan pemerkosaan. Lebih-lebih ketika laporan korban dipandang remeh dan petugas cenderung memojokan korban pada saat korban menjelaskan kronologi yang dialaminya.

Dalam hal ini, Polresta aceh telah melanggar UU Nomor 2 Tahun 2002 mengenai wewenang kepolisian dan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Selain itu, juga telah melanggar hak asasi manusia tepatnya hak sebagai subjek hukum, yang termasuk jenis hak dan kebebasan dasar dengan klasifikasi hak absolut (tidak boleh dikurangi, walaupun dalam 'keadaan darurat') Konvenan Internasional Sipil dan Politik, ICCPR (International dalam Convenan on Civil and Political Rights). Polresta aceh telah juga melanggar pasal 27 ayat 1 UUD 1945 tentang persamaan kedudukan semua warga negara terhadap hukum dan pemerintahan. Terlepas korban divaksin atau tidak, korban tetap merupakan subjek hukum yang secara hukum memiliki hak melaporkan ke polisi apabila dia mengalami tindak pidana.

Hal ini perlu menjadi evaluasi bersama terutama lembaga kepolisian yang merupakan lembaga penegak hukum di Indonesia untuk memahami dan menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh konstitusi negara ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun