Mohon tunggu...
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Kebijaksanaan---Islamic Philosophy Student in ICAS* Free Journalist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Menzalimi Hujan

29 April 2014   04:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seusai turun dari bus trans jakarta, langkah kakiku terhenti sejenak memandang langit. Hujan tumpah ruah membasahi tempatku berpijak. Aku mengurungkan niat untuk bercengkrama dengan keluarga di rumah. Tapi, entah mengapa ada kerinduan yang tak tertahan. Sejak belasan tahun lamanya, aku sungguh merindukan siraman hujan yang membasahi tubuhku. Aku bergumam dalam hati, ada hikmahnya juga payungku tertinggal. Spontan saja, aku mengambil keputusan untuk menerobos hujan. Memang tak ada sebiji zarah pun yang dapat mengubur “rindu”.

Orang-orang memandang heran, mungkin karena aku adalah satu-satunya orang yang berlari kencang tanpa alas kepala di tengah hujan. Di saat orang-orang memilih berteduh, aku justru tak mau mengikuti suara mayoritas. Aku begitu menikmati setiap bulir yang membasahi tubuhku. Namun, aku pun merasakan bahwa air hujan telah meresap hingga ke relung jiwaku yang terdalam. Jiwa yang kering kerontang karena menahan rindu yang menyeruak. Akhirnya, kerinduanku terbayarkan; kini tak ada yang memisahkan aku dengan hujan.

Kenikmatan itu sempat terusik karena aku tersandung batu. Wajar saja, aku terlalu asik berjalan bersama hujan, hingga tak sadar apa yang ada di hadapanku. Ditambah lagi, sepatu hak tinggi dan gaun panjang yang basah kuyup membuatku sulit untuk melangkah. Entah mengapa, tak terasa bulir air mataku jatuh perlahan. Aku mengutuk diriku yang begitu lemah dan hina. Seharusnya air mata itu terjatuh karena melihat “kezaliman” merajalela, sementara aku hanya duduk manis mempelajari setumpuk teori tentang “keadilan” tanpa berbuat apa-apa. Aku dengan angkuhnya berjalan di tengah hujan, tapi sesungguhnya aku hanya manusia kerdil yang begitu egois. Aku hanya ingin hujan mengobati kerinduanku kala membuncah. Setelah itu, aku tak segan mencampakkan hujan ketika aku ingin sendiri. Oh, maafkan hujan, aku telah menzalimi dirimu. Bagaimana mungkin aku bisa menegakkan keadilan, sementara tidak hanya hujan yang aku zalimi, tapi juga diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun