Mohon tunggu...
Zainab Zilullah
Zainab Zilullah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Manifestation of God I'm student of Master Degree-Islamic Philosophy Blog: http://zainabzilullah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berawal Dari Mimpi: Akankah Episode Cinta ini Mewujud Pada Realitas Eksternal?

7 Januari 2014   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda seperti biasanya, bulan tak bersinar terang malam ini. Cahayanya perlahan meredup, seolah-olah mengajakku tidur lebih awal tanpa bercumbu dengannya. Sementara, pada malam lainnya, aku lalui dengan keintiman yang syahdu. Akhirnya, aku berangkat menuju peraduan dengan lunglai karena memendam kerinduan yang mendalam. Sungguh amat menyesakkan dadaku yang memang sempit ini, sehingga tak ada ruang lapang untuk sekadar merebahkan diriku yang rapuh. Padahal, sekarang aku sangat membutuhkan cahayanya untuk menyinari hatiku yang gelap. Ketidakhadirannya membuatku bermuram durja, tapi tak sampai hati untuk mengutuk dirinya. Cukuplah aku mengutuk diriku sendiri.

Kutukan itu berawal dari sepotong mimpi sekitar dua bulan yang lalu. Setelah bercengkrama dengan bulan, ia membelaiku dengan cahayanya begitu lembut sambil berkata, “Nab, kamu akan mendapatkan petunjuk atas doa yang pernah kamu panjatkan pada mimpimu malam ini.”  Bulan kembali berujar, “Tuhan membisikkan itu padaku untuk menyampaikan kepadamu, bersiaplah atas jawaban-Nya malam ini.” Aku segera menepis bisikan itu dari pikiran, tapi tetap saja tak dapat terelakkan. Apa maksud bisikan bulan malam ini? Mimpi? Jawaban Tuhan? Doa? Ahhh, terlalu banyak pertanyaan yang bergelayut dalam benakku, hingga aku tak sadar telah masuk ke alam lain. Seiring kedua bola mataku terpejam, jiwaku melayang berada di alam mitsal, alam yang lebih tinggi hirarkinya daripada alam materi. Sebuah dunia yang tak asing bagiku, tapi kali ini tak seperti biasanya.

Semua begitu nyata bagiku, sosok  itu, pemuda yang begitu dingin dan angkuh. Aku juga masih mengingat jelas latar yang menjadi saksi perjumpaanku dengannya. Laki-laki dengan postur tinggi tegap, rahang kuat, bermuka tampan, tapi begitu kaku tanpa gurat senyuman di wajahnya. Menghampiriku dengan mata yang menatap dalam, begitu hangat. Dia ternyata adalah pasangan hidupku, suamiku. Saat lampu kamar dimatikan, penyatuan antara dua insan yang dilandaskan cinta suci pun terjadi. Kenikmatan cinta tertinggi saat hijab sudah tersingkap, tak ada lagi aku atau kamu. Aku tak mampu lagi melanjutkan kenikmatan penyatuan kerena cinta-Nya dengan kata-kata. Sesungguhnya kata akan mereduksi makna, walaupun tak ada yang dapat mewakili pengalaman selain kata.

Sontak aku terperanjat bangun dari tidurku, sambil mengucap istighfar. Keringat bercucuran, dadaku berdegup kencang; hanya mampu bergumam dalam hati, “Ya Tuhan, aku belum pernah bermimpi vulgar seperti ini.” Jika mimpi sering diartikan sebagai bunga tidur, tentu itu tak tepat diarahkan pada mimpiku kali ini. Sesuatu yang kita pikirkan akan mengendap pada alam bawah sadar (subconscious mind), kemudian acap kali pikiran tersebut menjelma dalam mimpi. Tapi, aku tak pernah berpikir tentang hal itu sebelumnya. Terlebih lagi sosok pemuda yang lahir dalam mimpiku adalah orang yang tak pernah aku temui sebelumnya. Misteri apa ini? Apakah benar ini jawaban Tuhan? Apakah sesuatu yang manusia mimpikan bisa terwujud? Lalu, siapakah laki-laki itu sebenarnya?

Terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk membuat diriku tak tenang menjalani hari-hari. Bulan pun hanya bergumam, “Renungilah mimpi itu, Tuhan telah memberikan jawaban atas pertanyaanmu dalam mimpi itu.” Aku hanya bisa menatap langit dengan mata nanar, menahan tangis. Setelah menghitung detik-detik kegalauan, aku mengambil keputusan untuk membungkus mimpi itu dalam sebuah kotak pandora yang enggan untuk kusentuh. Setidaknya keputusan itu telah membuatku tenang untuk menjalani kehidupan, entah sampai kapan, biarlah waktu yang menjawabnya.

Selang dua hari kemudian, aku kembali terperanjat hingga jantung berdegup begitu keras. Kali ini bukan di alam mitsal, tapi alam materi yang menjadi tempat ragaku berpijak. Aku melihat sosok itu menjelma begitu nyata. Ya, tidak salah lagi, dialah pemuda yang datang dalam mimpiku. Pemuda yang tak pernah aku lihat sebelumnya kini berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Kali ini berbeda, dia sama sekali tak menatapku dengan hangat, tak juga peduli dengan keadaan sekitar. Sampai di depan podium, dia menyampaikan presentasi tentang kajian teks Filsafat karya Ikhwan As-Shafa tanpa ekspresi. Ternyata, sosok itu adalah lulusan Universitas ternama dunia yang namanya seperti salah satu sufi tersohor. Haaah, aku tak sanggup lagi menahan perasaan yang berkecamuk ini. Kini, kotak Pandora itu telah terbuka sendiri, akankah bencana terjadi? Aku hanya berucap pada Dian yang saat itu duduk di sebelahku, “Yan, aku pernah memimpikan dia, nanti saja aku ceritakan kronologisnya.” Hilang sudah konsentrasiku mendengarkan presentasi darinya, tapi bukan karena presentasi itu menggunakan bahasa Inggris atau ketampanannya yang menyihir mahasiswa perempuan; Tidak, sungguh bukan karena itu.

Seusai seminar, aku hanya berjalan lunglai keluar pintu auditorium. Dian bertanya kepadaku, “Kak, mau ga berkenalan dengan beliau? Dian mau wawancara karena dapat tugas dari Lembaga Pers kampus, sekalian dian mau melakukan riset tentang Ikhwan as-Shafa.” Aku dengan berat hati hanya menjawab, “Tidak yan, untuk apa berkenalan? Toh, dia kemungkinan besar tidak akan datang ke kampus ini. Sudahlah biarkan saja, itu cuma mimpi kok.” Dian dengan geram berkata, “Kak, bisa saja itu pertanda, ayolah usaha dulu!”. Aku tetap teguh dengan pendirianku, “Maaf yan, kamu aja.” Dian akhirnya berhenti merajuk, “Baik, dian tinggal dulu ya, semoga bisa dapat nomor kontak atau emailnya buat Kak Inab.” Aku tak merespon, hanya melongos keluar auditorium untuk melanjutkan perkuliahan Filsafat Iluminasi di lantai dua.

Singkat cerita, komunikasi yang dilakukan Dian dengan Bapak itu hanya via email. Aku hanya bertanya-tanya pada diri sendiri apa maksud dari semua ini? Aku begitu malu bertanya pada Tuhan dalam doa. Tapi, aku yakin Tuhan mengetahui apa yang terbersit dalam pikiran dan perasaan yang berkecamuk dalam hati ini. Dian tetap memberikan semangat bahwa pemuda itu layak diperjuangkan olehku. “Menurutku, di antara laki-laki yang ada atau pernah hadir dalam kehidupan Kak Inab, dia adalah yang pas,” ujar Dian. Aku tak terlalu paham apa yang dimaksud dengan pas--- secara kualitas maqom ruhaniah, intelektual, atau apa? Tapi, aku merasa diriku masih tak layak untuk memohon jodoh dengan kualitas terbaik kepada Tuhan. Lagipula aku masih berpikir untuk menyelasaikan kuliah S2 sekarang ini.

Beberapa Minggu kemudian, aku kembali terperanjat; kini benar-benar nyata. Aku berlari kencang ke arah kelas karena jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, perkuliahan Metodologi Penelitian sudah dimulai. Akhirnya, aku membuka pintu tanpa salam karena begitu shock melihat sosok itu; ya sosok yang hadir dalam mimpiku. Aku menuju ke arah bangku yang berada di depan, berhadap-hadapan dengan meja dosen. Dia memberikan silabus ke tanganku, aku hanya terdiam menatap mata itu tanpa mengucapkan terima kasih--- mata yang begitu hangat dalam mimpiku. Pemuda itu akan mengajar kelas kami, hingga perkuliahan berakhir. Padahal, pihak akademik telah menjadwalkan beberapa dosen untuk mengajar mata kuliah Metodologi Penelitian. Inikah yang dinamakan takdir?  Kali ini aku benar-benar tak berdaya menghadapi realitas. Akankah episode alam alam mitsal akan mewujud dalam realitas eksternal?

Maaf, perasaan aku sangat berkecamuk menulis kalimat terkhir ini. Semoga, bisa dilanjutkan tulisan ini di lain kesempatan.

To be continued…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun