Â
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 98, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengucapkan ta'awudz sebelum membaca Al-Qur'an. Menurut Abu Ja'far bin Jarir, perintah tersebut bertujuan agar setan tidak mengacaukan bacaan Rasulullah, sehingga dikhawatirkan Rasulullah sulit melakukan tadabbur terhadap ayat -- ayat yang beliau baca. Kemudian menurut Ibnu Mundzir, beliau mengakatakan, "Ibnu Mas'ud meriwayatkan, bahwa sebelum membaca Al-Qur'an, Nabi Muhammad biasanya mengucapkan ta'awudz." Selanjutnya, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan bahwa, hukum membaca ta'awudz menurut jumhur ulama adalah mandub atau sunnah setiap kali akan membaca Al-Qur'an saat tidak sedang melaksanakan shalat.
Dari pendapat jumhur ulama' inilah, kebanyakan orang Islam menganggap bahwa membaca ta'awudz merupakan sesuatu yang diharuskan, tujuan dianjurkannya ta'awudz, diambil dari makna ta'awudz itu sendiri, yaitu memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Padahal jika dilihat dengan pendekatan historis, latar belakang yang sebenarnya tidaklah demikian. Maksud perintah Allah kepada Rasulullah untuk mengucapkan ta'awudz sebelum membaca Al-Qur'an, secara historis bukan seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang bahkan oleh jumhur 'ulama sekalipun. Meski demikian, jika mengacu pada terjemahan ta'awudz, memang benar bahwa saat itu Rasulullah meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan setan, hanya saja perintah ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW.
Jauh sebelum kehadiran Rasulullah SAW tepatnya sejak zaman jahiliyah, Â banyak penyair yang kerapkali menggubahkan syair dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa itu, orang-orang yang pandai menciptakan syair memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat. Kemudian ketika Rasulullah hadir di tengah masyarakat dengan membawa wahyu Allah berupa Al-Qur'an, beliau dianggap sebagai penyair, "dan Al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair" (Lihat Surah Al-Haqqah ayat 41). Keadaan ini memang tidak mengherankan, karena Al-Qur'an memiliki keindahan bahasa yang tidak bisa ditandingi oleh sastra, hal tersebut dapat dirasakan dari susunan ayat-ayat Al-Qur'an dengan susunan rimanya yang indah. Misalnya dalam surah An-Nas yang tiap-tiap ayatnya diakhiri oleh kata "Nas" dan masih banyak ayat-ayat lain yang keindahan sastranya sangat mengena terutama bagi mereka yang ahli dalam bersyair. Sehingga wajar jika Rasulullah dianggap sebagai penyair yang tidak lain disebabkan oleh keindahan sastra dari Al-Qur'an.
Beranjak dari realitas sosial yang dihadapi Rasulullah di tengah-tengah masyarakat Arab yeng menganggap beliau sebagai penyair, para penyair andal pada masa itu kerapkali mengharapkan bantuan jin dalam proses pembuatan syairnya. Konon sebelum mengarang syair, mereka terlebih dulu mengunjungi lembah abqar yeng terletak di Yaman. Dalam konsepsi masyarakat Arab pra Islam, penyair memiliki khadam atau pembantu yang berasal dari golongan jin. Jin tersebutlah yang selanjutnya menjadi agen yang bertugas mengeluarkan ucapan-ucapan indah di samping memberikan informasi-informasi gaib. Secara bahasa keadaan tersebut diartikan sebagai "Majnun" yaitu orang-orang yang kerasukan jin. Istilah majnun juga sempat disematkan kepada Rasulullah SAW sekali lagi karena keindahan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut beliau, apa lagi kalau bukan Al-Qur'an.
Untuk menepis fitnah yang ditujukan kepada Rasulullah bahwa beliau SAW adalah seorang penyair dan wahyu yang disampaikan dari malaikat Jibril adalah syairnya, maka turun pulalah ayat 99 dan 100 yang merupakan lanjutan ayat 98 Surah An-Nahl. Dalam ayat ini, Allah SWT menyampaikan bahwa setan yang termasuk dalam golongan jin tidak memiliki pengaruh apapun terhadap orang-orang yang tidak menjadikan mereka sebagai teman. Rasulullah adalah utusan Allah sehingga tidak mungkin beliau menjadikan setan sebagai teman maka secara otomatis beliau bukanlah golongan manusia yang berada di bawah kekuasaan setan. Karena beliau bukan golongan manusia yang dikuasai setan maka jelas pulalah, bahwa apa yang disampaikan beliau bukan syair sekalipun bahasa dan rima lebih indah daripada sastra ataupun syair.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perintah mengucapkan ta'awudz sebelum membaca Al-Qur'an tidak lain untuk melindungi kemurnian Al-Qur'an agar tidak tersusupi oleh bisikan-bisikan jin sebagaimana para penyair yang meminta bantuan jin agar dapat mengeluarkan kalimat-kalimat indah. Selain itu perintah tersebut juga untuk memberikan penegasan bahwa Al-Qur'an bukanlah syair yang dikarang Rasulullah melalui bantuan jin, akan tetapi firman Allah yang tersimpan di lauhul mahfuzh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H