Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh kementerian keuangan (Kemenkeu), menunjukkan bahwa utang pemerintah berfluktuasi pada kuartal 1 2024 hingga akhir maret 2024, nilai utang Indonesia mencapai Rp. 8.262,1 Triliun. Sebagian orang mungkin pernah berfikir, mengapa pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya kemudian uang tersebut digunakan untuk membayar utang? Jika dipikir-pikir sejenak, mencetak uang dalam jumlah banyak dengan tujuan untuk membayar utang negara sekilas memang masuk akal. Demikian karena utang-utang tersebut tidak lain dan tidak bukan harus dibayar pakai uang.
Meski begitu, jika mengacu pada teori ekonomi makro tentu gagasan di atas dapat terbantahkan. Hal tersebut karena jumlah uang yang beredar di masyarakat harus diatur agar berdampak signifikan terhadap perekonomian yang tentunya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah. Tujuan tersebut, dapat berupa stabilisasi ekonomi, berkurangnya ketimpangan distribusi pendapatan, dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Artinya kualitas ekonomi dalam suatu negara salah satunya dipengaruhi oleh baik atau tidaknya kemampuan pemerintah dalam memanage peredaran uang di tengah masyarakat.
Berbicara tentang utang Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat komposisi utang pemerintah Indonesia per September 2023 mencapai Rp. 7.891,61 triliun, besaran ini didominasi oleh instrumen utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 88,86 persen. Surat Berharga Negara (SBN) merupakan instrumen keuangan yang dapat dibeli oleh warga negara Indonesia, baik bersifat individu maupun perseorangan. Jika mengacu pada data Kemenkeu di atas terkait instrumen yang mendominasi utang negara, maka dapat disimpulkan bahwa utang Indonesia yang nominalnya ribuan triliun itu didominasi oleh kalangan investor Indonesia sendiri (internal negara) bukan dari kalangan asing.
Kembali ke pembahasan tentang cetak uang untuk bayar utang, semakin banyak uang yang dicetak maka semakin tinggi pula persentase uang yang beredar terlebih lagi utang indonesia didominasi oleh investor-invostor Indonesia melalui SBN. Bukan malah menyelesaikan masalah namun hanya akan menambah masalah baru dengan kian melangitnya angka inflasi. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari peredaran uang yang tidak terkendali adalah terjadinya inflasi, yaitu kenikan harga barang dan jasa yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang di suatu negara. Secara umum, inflasi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara permintaan barang dan jasa dengan ketersediaan yang ada. Ketidakseimbangan antara demand and supply (permintaan dan penawaran) tersebut selain berpengaruh terhadap angka inflasi, juga berpengaruh terhadap depresiasi atau melemahnya mata uang yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya impor, biaya hidup, dan daya beli masyarakat turut meningkat.
Dengan demikian mencetak uang banyak untuk membayar utang negara bukan hal mudah semudah pikiran yang terlintas di benak, sebab jika memahami teori perputaran uang tentu ada argumentasi yang lebih masuk akan yang mampu menjawab pertanyaan mengapa tidak cetak uang banyak agar bisa membayar utang negara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H