"Buat apa aku memilih, kalau toh yang dipilih nanti akhirnya mengecewakan. Mereka yang main dengan tangan kotor akan berbuat sesukanya. Suara kita tidak ada artinya!" ujar seseorang di warung kopi. --cerita 1
"Nak, negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Politiknya kotor, dinodai oleh seorang yang mengutamakan kepentingan keluarganya. Tapi... kita masih punya nurani yang membuat kita harus berjuang untuk bangsa ini. Tak soal jika hanya dengan seujung jari kelingking." ujar seorang ayah pada anaknya. --cerita 2
***
Anda bisa menangkap perbedaan dua penggalan cerita di atas? Ya. Cara dan sudut pandang dalam berjuang.
Hari ini, 27 November 2024 berlangsung pesta rakyat kedua, Pilkada, setelah Pemilu. Pesta rakyat atau pesta segelintir penguasa?
Semenjak Jokowi cawe-cawe dalam politik sejak ia masih menjadi presiden, kondisi politik negeri ini makin keruh. Di akhir masa jabatannya, bukan aroma harum yang disebarkan, namun bau amis, bahkan busuk. Memaksakan anak, menantu serta orang-orang yang akan menganggapnya berjasa pada jabatan strategis. Sadar anaknya tak memenuhi syarat, dia ubah aturannya. Licik.
Akibatnya, polarisasi yang tercipta bukan antar koalisi partai, melainkan kubu Jokowi dengan lawannya, dalam hal ini segala sesuatu yang berbau PDI-P. Semua orang tahu itu. Prinsipnya, semua yang didukung PDI-P adalah musuh Jokowi, demikian sebaliknya.
Pemilu presiden membuktikan, calon yang didukung Jokowi berhasil meski maju dengan cara menodai Undang-Undang. Aplikasi sirekap juga menjadi ajaib, karena berapa pun angka yang diunggah di tiap TPS, hasilnya adalah suara untuk Prabowo-Gibran menggelembung. Entah, ada tangan apa yang bekerja.
Menjelang Pilkada, ada pula usaha dari kubu non-PDI-P yang hendak mengubah Undang-Undang Pilkada agar Kaesang bisa maju. Syukurnya unjuk rasa di berbagai daerah bisa mematahkan niat jahat itu. Selesai? Tidak.
Meski telah lengser sebagai presiden Jokowi masih blusukan ke beberapa daerah. Tujuannya apa? Nitip daerahnya supaya mendukung calon yang ia suka. Anaknya menjadi wakil presiden--dengan cara jahat--tak menghentikan ambisi Jokowi.
Pemilihan gubernur di Jawa Tengah, misalnya, dari hasil hitung cepat yang dilaporkan Kompas.com paslon Luthfi-Yasin unggul 59,80 % dalam hitung cepat sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI), Rabu (27/11/2024), pukul 15.00 WIB. Sementara itu, pasangan nomor urut 1, Andika-Hendrar mendapat 40,20 % suara. (Data penghitungan yang masuk sebesar 56,75 %)
Padahal, secara popularitas, paslon 1 lebih dikenal masyarakat. Hendi pernah menjadi Wali Kota Semarang pada 2010. Andika sebagai mantan Panglima TNI juga lebih dikenal secara nasional. Tapi, kalau suara paslon lain lebih unggul, apalah mau dikata. Tangan-tangan elit tak terlihat lebih berkuasa dari rakyat jelata.
Lantas, haruskah kita acuh?
Diam atau acuh bukanlah mental pejuang. Seperti kutipan terkenal berikut,
“Sebaik-baiknya pertahanan adalah yang dilakukan dengan menyerang” -- Tan Malaka
Untuk melawan tangan-tangan jahat yang menodai demokrasi bangsa ini, acuh atau diam bukanlah pilihan.
Melawan, itulah pertahanan terbaik. Bukan dengan menggerakkan aparat atau orang-orang yang di dalam kekuasan. Lawan dengan cara-cara yang sopan, tidak melanggar hukum maupun etika. Kita dalam apa pun porsi dan perannya bisa melawan dengan jari kita.
Memilih calon bukan karena fanatik pada pribadi, bukan karena tebalnya amplop yang diterima, bukan pula karena intimidasi dari pihak mana pun. Tapi, memilih dengan sadar, bahwa setiap suara kita adalah bentuk perlawanan.
Pilih, coblos kandidat yang lebih baik di antara yang sangat tidak baik. Bagaimana kalau kita melawan, akhirnya kalah? (Paslon lain menang, dengan cara curang)
Kita sudah berjuang secara bermartabat, saudaraku.
Esok, hasil penghitungan suara akan segera keluar. Apa pun hasilnya, ayo kembali berjuang di porsi masing-masing. Tak usah baper. Cicilanmu masih panjang kan? --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H