Di rumah, aku dan istri sudah berbagi tugas untuk menjadi "guru" bagi anak. Kami sepakat untuk mengajari anak keterampilan dasar bertahan hidup. Terbiasa mengucapkan kata "tolong", "maaf", dan "terima kasih". Makan dengan sendok sendiri, pipis buka celana sendiri (hanya belum telaten menyiram), menaruh gelas-piring kotor di wastafel.Â
Kami juga ajarkan hal kognitif pada anak. Aku yang menyiapkan lembar kerja, istriku  mendampingi belajar di rumah. Saat ini, anak kami sedang gandrung mewarnai gambar robot dan mobil. Berikutnya aku akan cetakkan gambar-gambar hewan. Menyapukan kuas di kertas, betapapun acak adul, bisa merangsang imajinasi anak.
3) Menikmati bermacam wahana
Waktunya makan snack, anakku malah bermain. Waktu teman-temannya sudah pulang, anakku baru makan. Demikian ujar istriku. Maklum, di rumah tidak ada wahana mainan seperti di sekolah. Sebenarnya kami sudah beberapa kali mengajaknya bermain ke playground umum. Namun, ia cepat bosan betapa pun banyaknya wahana yang tersedia.Â
Entah kenapa di sekolah ini dia bisa enjoy. Bersyukurnya, dalam trial class ini selain belajar tentang akuatik, ia juga bisa menikmati bermacam wahana.
Tak hanya anak, melalui program trial class ini ternyata ibunya juga bisa belajar.
1) Harus menyiapkan bekal ganda
Melalui unggahan di story WA, istriku curhat bahwa dengan anak mengikuti trial class ia mengalami kerepotan yang berganda. Menyiapkan bekal untukku, harus menyiapkan bekal untuk anak pula. Apalagi anak kami tidak biasa sarapan pagi. Makannya juga gampang-gampang susah.
2) Waktu dengan anak makin berkurang
Sejak pacaran, aku dan istri sepakat bahwa setelah menikah istri akan mengurus anak dan rumah tangga. Kami akan saling mendukung. Artinya, anak hampir 24 jam x 7 hari seminggu bersama mamanya. Aku bisa bermain bareng anak sepulang kerja dan weekend. Saat trial class ini istri harus bersiap bahwa waktu dengan anak makin berkurang. Apalagi kalau besok sudah sekolah.
3) Harus mondar-mandir