Zaman sekarang, internet menjadi kebutuhan primer manusia. Di saat yang sama, keamanan dan privasi kita juga terancam.
Elon Musk meluncurkan Starlink di Denpasar, Bali (19/05/2024) bersamaan dengan peresmian kerja sama Kementerian Kesehatan untuk menyediakan akses internet bagi beberapa Puskesmas di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan.
Pebisnis lokal menyoroti langkah “jual rugi” Starlink, dikhawatirkan menimbulkan persaingan tak sehat. Belum lagi risiko jika layanannya digunakan kelompok teroris atau separatis yang mengancam keamanan nasional.
Starlink adalah sistem internet berbasis satelit dengan orbit yang dekat permukaan bumi atau low Earth otbit (LEO). Alih-alih kabel serat optik, Starlink menerapkan konstelasi ribuat satelit kecil berorbit rendah untuk mengirim data berkecepatan tinggi. Singkatnya, Starlink mengirimkan data melalui gelombang radio ke satelit-satelit di orbit, lalu meneruskannya ke pengguna di berbagai belahan bumi.
Apa hebatnya Starlink?
SpaceX, perusahaan tranpsportasi antariksa milik Elon Musk mulanya mengirim 60 satelit ke orbit rendah bumi pada Mei 2019, dan meluncurkan layanan internet pada Oktober 2020. Tiap satelit berjarak sekitar 550 kilometer. Pada 20 Mei, Musk menyebut pengguna Starlink menyentuh 3 juta di 99 negara. Ke depan, Musk berambisi mengkonstelasi 42.000 satelit Starlink di orbit bumi.
Starlink mematok paket internet Standar untuk kategori perumahan dengan kecepatan 25-100 Mbps dengan biaya Rp750.000/bulan. Sedang paket Prioritas Mobile untuk kategori Jelajah dan Kapal berkecepatan 40-220 Mbps biaya terendah Rp4,3 juta/bulan.
Sebagai perbandingan, layanan internet Satria-1 milik Indonesia dibanderol Rp2,5 juta/bulan dengan kecepatan 3-20 Mbps. Maka, harga yang ditawarkan Starlink adalah murah, banget.
Heru Sutadi, pengamat teknologi dan direktur eksekutif Indonesia ICT Instistute berujar, orang Indonesia membutuhkan rata-rata internet berkecepatan 20 Mbps, dan 50 Mbps untuk daerah perkotaan. Masyarakat harus paham, kecepatan yang ditawarkan Starlink menggunakan kisaran, model “up to”, hingga angka tertentu, bukan besaran tetap. Kalau jaringan sedang bagus, bisa mencapai kecepatan sekian, kalau tidak ya jangan protes.
Saking menjamurnya Starlink di orbit, banyak masyarakat menyaksikan bintik-bintik cahaya di angkasa pada malam hari dan mengira UFO. Akibatnya Starlink dikritik karena mengganggu pengamatan astronomi hingga polusi cahaya.
Sejak Juni 2022, Starlink bekerja sama dengan PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat). Kesepakatannya adalah bisnis ke bisnis (B2B), bukan langsung ke pelanggan (B2C). Starlink diizinkan berlabuh di Indonesia untuk mendukung layanan jaringan tetap tertutup Telkomsat, bukan masyarakat umum. Namun, pada 3 April 2024, Direktur Jenderal Penyelanggaran Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Wayan Toni Supriyanto berujar, Starlink telah mengurus dua izin operasi untuk menjual layanannya langsung ke pelanggan. Lho, katanya model bisnis ke bisnis…?