Alih-alih kafe atau mal, wisata alam menjadi tempat langganan yang aku dan istri wajib kunjungi.
Berdua saat pacaran, sudah. Buat prewed, sudah. Setelah menikah, juga sudah. Mengajak anak yang belum kesampaian.
Akhir bulan Oktober ini sudah beberapa kali turun hujan di daerahku. Disertai sahutan petir yang membahana, hujan mengguyur cukup deras. Fix, musim penghujan telah tiba.
Meski begitu, suhu sekitar masih sangat panas. Tidak siang, tidak malam; tetap panas. Tidak di kota, tidak di kampung; sama panasnya.
Nah, saat hidup lagi panas-panasnya seperti ini, cocoknya cari yang adem-adem, sehat lagi segar. Bukan ke kafe atau mal. Bukan pula menyeruput es teh tiga ribuan yang sedang viral itu. Melainkan mengunjungi wisata alam yang menjadi langganan: Curug Lawe.
Pada hari Minggu di akhir Oktober istriku diundang untuk mengisi sesi sharing alumni dalam retret mahasiswa FKM salah satu universitas negeri di Semarang. Seminggu sebelumnya kami telah rapat, mumpung ke Ungaran, baiknya sekalian healing refreshing ke Curug Lawe.
Seperti biasa, hari Minggu itu kami bangun pagi dan bersiap-siap. Harus mengantar anak Sekolah Minggu di gereja jam 7. Satu jam kemudian selesai, kami segera meluncur ke tempat Mbah untuk menitipkan si kecil.
Inginnya mengajak anak, tapi dirasa cukup repot. Lagi pula mendekati jam tidurnya. Iya kalau bisa tidur di motor, jika tidak kasihan anak kami bakal kelelahan. Maka, kami putuskan mengajak adik-adik rohani. Adikku punya empat adik, aku punya dua. Tapi masing-masing satu adik kami tidak bisa bergabung.
Aku dan istri berangkat duluan ke tempat retret. Ia harus mengisi acara jam 09.00. Sekitar jam 10 aku meminta adik-adik menuju ke Alun-alun Ungaran. Barulah kami menuju ke Curug Lawe bersama-sama.