Setelah mengunjungi tepian Danau Toba di Tigaras dan melihat Tugu Perjuangan Rakyat Tigaras, petualangan kami berlanjut.
Kami sudah 'mempresentasikan' rencana pernikahan kepada keluarga Yanti dari pihak mama di kampung Yanti. 'Presentasi' berikutnya yakni di depan keluarga bapak Yanti di Dolok Saribu--kampung asal bapak. Bapak Yanti hanya dua bersaudara, beliau yang bungsu.
Setelah beberes di rumah, siangnya kami baru berangkat. Perjalanan sekitar satu jam naik motor. Selepas dari jalan raya, medannya berubah menjadi aspal berlubang, berbatu, tanah bergelombang dan cekungan yang menjadi danau dadakan kalau musim hujan.
Bapak punya empat anak, Yanti yang sulung. Kakaknya bapak (Tua Agus) punya lima anak, tiga diantaranya sudah berkeluarga dan punya anak. Kukira di depan mereka ini saja kami akan presentasi.
Ada marga Saragih yang sudah menjadi keluarga bagi bapak (marga Naibaho). Betapa tidak, jika bapak-mama berantem kela (kerabat laki-laki bapak) ini yang hampir pasti mendamaikan. Bahkan saat Yanti masih bayi, baptis sidinya digendong oleh bou (kerabat perempuan bapak).
Kris juga harus 'presentasi' (ketiga kalinya) di depan kela dan bou. Prinsipnya sama, kami akan melangsungkan pemberkatan pernikahan secara sederhana. Tidak ingin membebani orang tua dengan pesta adat. Namun akan mengusahakan pesta adat beberapa tahun setelah pemberkatan pernikahan.
Di sebuah rumah sederhana berdinding semi beton setengah papan, dengan alas tikar anyam plastik, Kris presentasi di depan seluruh keluarga. Mulanya mereka berbincang dalam Bahasa Batak. Oh tidak, aku kembali menjadi orang asing.
Yanti berusaha membantu menerjemahkan. Setelahnya, mereka pun berbicara Bahasa Indonesia juga untuk menghormati Kris. Syukur, di kalangan keluarga Yanti tidak ada penolakan terhadap orang non-Batak. Mereka open-minded. Kapan lalu ada juga kerabat yang menikah dengan orang Bandung. Kita Indonesia, bro!
Perbincangan siang itu ditemani dengan sedikit oleh-oleh yang kami bawa dari Jawa, minumnya teh hangat. Bapak-bapak mengisap rokok dan ibu-ibu mengunyah sirih.
Mimpi apa aku, anak kampung nan jauh dari Jawa bisa berhadapan dengan keluarga orang Batak, sendirian. Ini semata-mata adalah anugerah Tuhan.