"Mau minum apa?" Anda pasti sering mendapat pertanyaan itu saat di warung makan atau kafe. Es teh, es jeruk, jus buah, es kopi susu, es sirop dengan soda pasti di urutan teratas jawaban Anda.
Tidak salah dengan daftar itu. Minuman tersebut menyegarkan, manis dan enak. Siapa yang sanggup menolak? Namun, berapa jumlah gizi dalam minuman tadi dibandingkan dengan kadar gula berlebihan yang diterima tubuh kita.
Pernahkah Anda minum jamu?
Mendengar kata "jamu", banyak yang menganggapnya obat yang pahit rasanya. Jamu (Jawa: djamoe) adalah ramuan tradisional asli Indonesia dari bahan-bahan alami yang dibuat dari akar-akaran, daun-daunan dan bagian lain dari tumbuhan.
Umumnya, jamu dikonsumsi dengan cara diminum. Seiring berjalannya waktu, jamu lebih dikenal dengan nama herba atau herbal.
Bersumber dari bagian tanaman, wajar jika jamu terasa pahit, sehingga perlu ditambah gula, madu atau anggur agar lebih diterima oleh lidah. Manfaat utama dari jamu adalah berkhasiat untuk menjaga kesehatan (preventif) dan menghangatkan tubuh.
Tidak diketahui pasti asal minuman jamu. Namun, banyak peracik dan penjual jamu tradisional yang berasal dari Desa Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sehingga di daerah ini didirikan patung jamu dan petani sebagai ikon.
Zaman dulu, penjual ini adalah ibu-ibu yang menggendong jamunya. Seiring berkembangnya zaman, penjualnya tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki. Caranya tidak digendong, melainkan dengan gerobak kecil di atas sepeda onthel sampai sepeda motor.
Sejarah jamu
Manusia purba sudah memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai obat, dijelaskan oleh Wira Hardiyansyah Food Heritage Educator Travelling Chef. Ada bukti tentang penggunaan jamu di masa prasejarah berupa alat batu pipisan untuk menghaluskan biji-bijian dan bagian tanaman yang tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Pemanfaatan tanaman sebagai obat juga ditemukan dalam naskah-naskah kuno abad kesembilan. Pada abad ke-17, pemanfaatan jamu mulai ditulis dan menjadi tradisi turun-temurun. Pada Serat Primbon Jampi Jawi (abad ke-18) pada masa Hamengkubuwono II, tertulis bermacam bahan-bahan herbal. Tanaman tersebut dimanfaatkan untuk menjaga kecantikan dan kebugaran tubuh.
Jamu sempat mengalami penurunan, yakni saat ilmu modern pertama kali masuk ke Indonesia. Kampanye obat-obatan bersertifikat sukses mengubah pola pikir masyarakat, sehingga minat terhadap jamu menurun. Selain standar dan sertifikat, khasiat jamu pun dipertanyakan.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1940-an, tradisi minum jamu kembali populer karena dibentuknya Komite Jamu Indonesia. Seiring berjalannya waktu, jamu dikemas dalam bentuk pil, tablet, maupun bubuk yang mudah diseduh.
Tahun 1974 hingga 1990, banyak berdiri perusahaan jamu dan semakin berkembang. Terbukti, jamu bisa tembus ke dunia industri. Sebut saja Sidomuncul, Nyonya Meneer dan Jamu Jago. Juga Mustika Ratu yang memanfaatkan bahan herbal untuk produk kosmetik dan kecantikan.
Inovasi jamu
Kembali ke minuman jamu. Meski banyak dekade telah berlalu, melampaui masa pandemi, jamu tetap eksis bahkan mulai menyasar kalangan milenial.
Sebuah akun di Twitter @belindch mengunggah foto saat ia menikmati es krim rasa tolak angin. Inilah salah satu inovasi produk turunan dari jamu.
Es krim tersebut dapat dibeli di Herbal Corner by Sido Muncul, Lantai 2 Tentrem Mall Semarang. Cafe yang baru dibuka 19 Januari 2023 ini mengusung nuansa putih yang asyik buat nongkrong. Di cafe ini, pengunjung disediakan banyak pilihan minuman yang menarik.
Ada healthy blend, aneka kopi, teh, energy booster dan minuman herbal bertajuk "immune booster" dengan resep khas Sido Muncul. Bagi yang suka hangat, ada Wedang Tolak Angin, Choco Tolak Angin dan Tolak Angin Frappe. Minuman hangat ini dapat disantap bareng aneka pastri dan kue.
Food blogger Vyna Lee membagikan pengalamannya saat berkunjung ke Herbal Corner. Sebagai pecinta jamu sejak kecil, ia merasa sangat senang bisa 'ngecafe' tapi minumnya jamu. Pengunjung bisa memilih banyak varian jamu kekinian by Sidomuncul. Seperti hot drinks, moctail, kopi-kopian, teh bahkan ice cream.
Buat yang tidak suka dan tidak terbiasa minum jamu, jangan khawatir. Minuman di sini tidak pahit, malah enak dan ramah untuk lidah semua usia. Vyna memberi beberapa rekomendasi jamu yang enak. Favoritnya adalah Jamuccino, nama yang terinspirasi dari capuccino. Bahannya dari serbuk herbal yang dicampur dengan steam milk. ENAK POL!!!, ujar Vyna.
Waktu masih pacaran, aku dan istri beberapa kali menikmati jamu kekinian. Di kompleks Kota Tua Jakarta ada cafe jamu, Acaraki. Peralatan yang dipakai hampir sama untuk mengolah kopi, tapi yang diolah adalah jamu. Kami juga pernah makan es krim jamu di salah satu mal di Semarang.
Pengalaman di atas adalah bukti bahwa jamu juga bisa diterima oleh kalangan milenial, asalkan dilakukan berbagai inovasi.
Men-jamu-kan masyarakat
Istriku adalah praktisi minuman herbal. Sejak menikah, ia mengerjakan jamu kekinian meski masih di skala rumah tangga. Produk umum yang sudah digemari pelanggan adalah kunyit asam, beras kencur, temulawak.
Cara pemasarannya bukan digendong atau dijajakan keliling dengan sepeda motor. Melainkan di wadah botol plastik kemasan 250 ml. Inovasi kecil yang coba dilakukan istriku sejak masih bekerja dulu yakni membuat varian rasa baru, Lemongrass (sereh+jahe). Lalu muncul lagi varian Monja (lemon+jahe).
Kami memberi label "Sendjamu" pada produk kami. Apakah diartikan "mengirim jamu" atau "senja kamu", silahkan. Yang jelas, kami ingin jamu makin dikenal masyarakat. Ini juga menjadi upaya melestarikan warisan nenek moyang.
Meski belum punya cafe atau pasar yang besar, istriku terus konsisten mengerjakan jamu. Visinya adalah 'menjamukan masyarakat'. Perlahan tapi pasti mengenalkan jamu yang enak, sehat dan bermanfaat kepada masyarakat seluas-luasnya. Dari anak-anak sampai lansia.
Kami memasarkan jamu kepada teman-teman, kenalan dan tetangga. Beberapa muridku juga aku 'cekokin' jamu. "Enak", kata mereka. Para tetangga pesan jamu buatan istriku, baik untuk konsumsi pribadi maupun untuk arisan.
Kalau ada event di lingkup RW maupun kelurahan, istriku juga ikut. Ia beberapa kali menjadi pembicara untuk pemanfaatan tanaman toga. Demonstrasinya yakni membuat minuman jamu yang enak dan mudah dibuat. Salah satunya adalah kunyit latte (dengan santan). Sensasi pahit kunyit dikombinasi gurihnya santan.
Melihat besarnya potensi dan manfaat jamu, harapan kami makin banyak masyarakat yang mau mengonsumsinya untuk kehidupan yang lebih sehat. Jangan hanya gemar minuman tinggi gula yang bisa memicu diabetes. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H