Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Soal Ujian Cetak Vs Google Form, Dinamika Wujud Soal Ujian di Era Pandemi

15 Mei 2022   23:08 Diperbarui: 17 Mei 2022   13:03 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soal Google Form berwarna, lebih murah dan menarik | dokumentasi pribadi

Saat-saat paling menegangkan bagi murid adalah menjelang pelaksanaan tes/ujian. Tak hanya murid, guru maupun orangtua (yang perhatian) tak mau kalah. Guru panik, kalau banyak murid tidak mencapai nilai KKM, apa yang salah dengan penjelasannya? Orangtua senewen, kalau nilai rapornya merah, malu sama tetangga.

Sepanjang sejarah, wujud soal ujian yang umum adalah lembar cetak. Sedangkan berita sudah mulai ke bentuk digital. Namun semenjak pandemi Covid-19 Google hadir menjawab kebutuhan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) dan menawarkan media ujian yang berbeda. Beberapa fasilitas yang disediakan yaitu Google Classroom, Google Meet, dan Google Form.

Soal ujian cetak

Lembar soal cetak dipakai selama ini. Hal ini tentu menguntungkan pihak percetakan, apalagi soal Ujian Nasional. Ini berkontribusi pada global warming karena makin banyak penggunaan kertas makin banyak pohon ditebang. Tidak ada inovasi.

Meski begitu, media cetak lebih mudah dibaca, murid lebih mantap mengerjakan karena bisa dilihat, diraba tapi (tak perlu diterawang). Serta tidak menimbulkan radiasi yang berbahaya bagi kesehatan mata.

Murid dan orangtua juga bisa ikut memantau saat hasilnya dibagikan. Mungkin ada jawaban yang benar tapi dianggap salah oleh guru, atau poin yang diberikan terlalu kecil, dst.

Soal media cetak | foto: KRAISWAN
Soal media cetak | foto: KRAISWAN

Pemberian soal ujian media cetak juga bisa diawasi langsung oleh guru selaku pembuat soal atau pengawas. Jika ada gerak-gerik murid yang mencurigakan, guru bisa mengingatkan atau menegur. Lebih minim peluang untuk mencontek, kecuali penjaga ujiannya main Instagram atau tidur di kelas.

Kekurangannya, lembaran berwarna hitam putih. Jika ada gambar jadi tidak jelas. Selain itu banyak lembaran yang harus dikoreksi guru, tidak praktis. Apalagi jika bentuk soalnya isian/uraian, jawaban murid beragam. Guru harus memberi tanda, komentar, serta poin secara manual.

Soal ujian Google Form

Pandemi Covid-19 yang mengganas membuat proses belajar dilakukan jarak jauh, termasuk tesnya. Masa orangtua harus mengambil berkas ke sekolah, dikerjakan di rumah, lalu dikumpulkan ke sekolah lagi? (Entah di sekolah lain, di sekolahku tidak begitu).

Salah satu layanan di Google adalah Google Form/formulir Google (berikutnya disebut GForm). Fitur ini dipakai untuk mengonversi soal ujian yang biasa dicetak menjadi bentuk digital (untuk mengakses fitur ini harus terdaftar pada Google Workspace, dikelola operator IT sekolah.) Wujud soal ini lebih canggih. Bisa dilampirkan kop sekolah, soal-soal berikut kunci jawaban serta poin yang diinginkan guru.

Bentuk soalnya lebih beragam, bukan hanya soal perintah "Sebutkanlah... Jelaskanlah... Tuliskanlah..." Variasi bentuk soal yang lain yakni mencocokkan, kotak centang, drop-down, skala linier, kisi pilihan ganda dan petak kotak centang. Bisa dilampirkan gambar berwarna, lebih jelas, menarik dan murah.

Soal Google Form berwarna, lebih murah dan menarik | dokumentasi pribadi
Soal Google Form berwarna, lebih murah dan menarik | dokumentasi pribadi

GForm yang sudah diisi oleh murid bisa dikoreksi otomatis oleh Google, dan bisa diatur mau langsung rilis skor atau nanti setelah ditinjau guru. Ketelitian koreksi oleh Google sangat akurat dan tanpa toleransi, apalagi untuk soal selain Pilihan Ganda.

Akibatnya skor perolehan murid sangat rendah. Kalau GForm diatur langsung merilis skor, bisa jadi semua murid remidi karena skornya di bawah KKM. Menurut standar Google, jawaban murid harus sama persis dengan kunci jawabannya. Beda satu karakter, meski hanya tanda baca akan dianggap salah.

Di sekolahku bentuk soal ujian harus dibuat beragam. Tidak hanya pilihan ganda, tapi mencoba tipe-tipe lain yang disediakan Google. Untuk soal isian dan uraian, tidak mungkin jawaban murid sama dengan pikiran/kunci yang dibuat oleh guru. Oleh sebab itu harus ditinjau manual oleh guru.

Berarti tidak ada bedanya dengan mengoreksi lembar cetak? Ada, untuk beralih ke murid berikut tinggal klik tombol, tidak harus membolak-balik lembaran kertas. Google juga mengakumulasi skor total yang diperoleh.

Kelemahan penggunaan Google Form, murid mengerjakan dari rumah (jarak jauh) tidak bisa dipantau guru. Murid mengerjakan dengan siapa, dengan cara apa tidak ada yang tahu. Pihak sekolah hanya berpegang pada asas kepercayaan.

Jika murid mendapat nilai hampir sempurna, tidak mengherankan. Guru perlu mengomparasi performa murid saat proses belajar. Di sekolahku "haram" membuat soal hafalan yang jawabannya ada di Google. Meski guru sudah mengingatkan agar tidak mencontek, namun selalu ada godaan, apalagi jika terdesak. Soal yang dibuat harus menggiring daya nalar murid.

Media soal ujian ditentukan pandemi Covid-19

Awal April, saat pemerintah kota menetapkan Salatiga terkendali kasus Covid-19, sekolah-sekolah diizinkan melakukan PTM 100%. Pembelajaran tatap muka ini kewajiban bagi murid, bukan lagi pilihan. Konsekuensinya, kebijakan sekolahku terkait tes dilakukan secara onsite, kembali memakai lembar cetak.

Ini tantangan tersendiri, kami harus beradaptasi. Selama dua tahun terakhir telah nyaman dan terbiasa menggunakan Google Form. Bukankah ini kemunduran? Sudah bagus menggunakan media digital, masakan kembali ke kertas?

Semua demi memaksimalkan proses dan hasilnya. Supaya guru bisa mengawasi pelaksanaan tes. Sebenarnya bisa juga mengerjakan GForm di sekolah. Namun tidak efektif karena murid harus membawa gawai ke sekolah.

Penutup

Apakah soal tes berbentuk cetak atau digital, hendaknya dijalani dengan tabah oleh guru maupun murid (serta dukungan orangtua). Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama. Namun, pandemi juga yang memaksa kita belajar hal-hal baru. Hakikat manusia sebagai pembelajar sepanjang hayat mendorong kita belajar dari berbagai kondisi, media dan perkembangan teknologi. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun