Semenjak minyak goreng langka, kami sekeluarga mengurangi makan gorengan. Sebelumnya, seminggu dua kali kami wajib makan gorengan.Â
Mendoan dan pisang goreng adalah favorit kami. Selingannya bakwan dan tahu isi. Apalagi harga bahan baku di Salatiga sangat murah, kami lebih suka menggoreng sendiri.
Kami masih ada sedikit minyak (sekitar 500 ml) dicukup-cukupkan untuk menyangrai bumbu sesekali. Namun, diusahakan harus segera beli, minimal 2 liter.Â
Jika tidak makannya sayur melulu yang bumbunya direbus. Bosan nggak? Di sinilah kami bakal merekayasa anggaran. Supaya bisa beli minyak yang harganya berlipat ganda, ada anggaran lain yang harus dikurangi.
Teman kerjaku pernah memberi info adanya minyak goreng di suatu mini market. Tapi tidak memuaskan karena kemasan literan, jumlahnya sangat terbatas.
 Sewaktu mengantar istri belanja, di sebuah kios pasar tradisional ada yang menjual minyak goreng kemasan 2L seharga Rp 42.000. Mahal. Kami tunda membeli, menghabiskan stok yang ada di rumah. Nanti kalau sudah kepepet, bakal dibeli juga.
Ada teman yang berdagang sembako via story WA. Salah satu dagangannya adalah minyak goreng.Â
Saat di pasaran minyak langka, teman ini bisa punya stok hingga berkarton-karton, namun non-subsidi. Padahal dia tidak punya toko. Seperti kata istriku, siapa yang punya modal, ya bisalah membeli.
Aku iseng bertanya berapa harganya. Dibalasnya Rp 41.000/2L. Tak jauh beda dengan yang di pasar tradisional. Kami pun menunda untuk membeli minyak.
Selama masih bisa berjalan selama itu pula kita harus berusaha, demikian kata pepatah. Waktu berkunjung ke rumah orang tua, aku iseng bertanya apakah ibuku masih bisa membeli minyak goreng.Â